Selasa, 27 September 2016
Ujian, Kecemasan, dan Self-Esteem
Diposting oleh RIZKA di 17.08 1 komentar
Label: my experience, psikologi
Kamis, 14 April 2016
TERLIHAT Cantik
Diposting oleh RIZKA di 07.51 0 komentar
Selasa, 13 Oktober 2015
Sedikit tentang Plenary Sesion IconIPsy Sabtu 10 Oktober 2015
Saya ambil poin-poin yang menarik saja ya..
- Bagaimana kita menyikapi ink-blot test sebagai produk psikoanalisis ?
Prof Malik Badri menjawab: Islam mengakui adanya simbol-simbol yang menyiratkan suatu hal, seperti mimpi yang ada interpretasinya, namun tidak sembarangan orang boleh melakukannya. Teringat Ibn Sirin yang menulis buku tentang tafsir mimpi. Apa yang dilakukan Freud terhadap mimpi ? Beliau mengkaitkan mimpi sebagai manifestasi dorongan seksual. Ini yang jangan diterima. Jadi, teliti lagi apa yang disampaikan. Dlm hal ini, kita boleh menggunakan mimpi sbg simbol dari kondisi psikologis seseorang, tapi hati-hati dalam menginterpretasi.
Diposting oleh RIZKA di 06.19 0 komentar
Label: psikologi
Sabtu, 10 Oktober 2015
Jembatan: Tugas Psikolog Muslim
Diposting oleh RIZKA di 21.59 1 komentar
Jumat, 09 Oktober 2015
Kenali dan Regulasikan Emosi !
Ini adalah secuplik materi kuliah dengan dosen yang cukup “Humanistik”. Saya coba pahami melalui analogi berikut. Kita mau muntah, sedang di tempat umum. Jadi harus ke kamar mandi dulu karena muntah di tempat umum adalah hal memalukan. Begitu juga dengan mengekspresikan emosi, perlu pergi ke tempat yang kondusif dulu supaya tidak dianggap aneh-aneh oleh orang lain. Dosen saya mengatakan, kita orang Indonesia dibiasakan untuk meniadakan emosi, “Ga boleh nangis, marah, dsb”. Apak akibatnya ? Kita menjadi tidak peka dengan emosi diri sendiri, sehingga tidak bisa mendeteksinya. Yang terjadi hanyalah ada gejolak dalam diri tanpa tahu apa itu. Contohnya, ada pengalaman pahit pernah disakiti oleh bapaknya. Rasanya benci, marah, ada dendam, tapi bingung harus bagaimana karena yang menyakiti adalah orang tuanya. Dia hanya memendam perasaan itu, disimpan, ditutupi, dan berusaha dilupakan karena takut. Bapak & ibunya mungkin sering mengatakan, “Marah sama orang tua itu durhaka, itu dosa”. Khawatir juga dilabel sebagai "Anak tidak berbakti pada orang tua" oleh orang-orang lain yang tahu. Dalam pikirannya, “Aku ga boleh menampakkan marah walaupun sebenernya benci sama bapak, ya sudahlah, lupakan saja.” Namun, sebenarnya di dalam hatinya yang terdalam, dia belum memaafkan. Hanya saja itu diingkari, seakan-akan tidak merasakan apapun. Suatu saat emosi itu bisa terekspresikan, seperti meledak. Yang terjadi adalah bingung, “Kok aku seperti ini ya.. Inikah diriku ?” Ini gambaran contoh seseorang yang tidak mengenal emosi dirinya. Kenal saja tidak, apalagi meregulasinya.
Aplikasinya dalam konseling.. Aliran humanistik menekankan empati dan emosi. Klien dibiarkan untuk memuntahkan emosinya karena belum tentu orang tahu apa yang tersembunyi di dalam dirinya (masih dalam level mental, belum sampai jiwa). Mungkin benci, sedih, marah, kecewa, dsb. Terkadang orang juga merasa berat menceritakan pengalamannya, saking beratnya masalah yang dihadapi sehingga bingung mulai cerita dari mana. Ada juga orang yang bersikeras dirinya baik-baik saja, pura-pura kuat, padahal dirinya rapuh. Mau menangis, teriak keras, mengumpat, semua dibiarkan sampai klien siap untuk bercerita dengan pikiran yang lebih jernih. Harapannya, klien sadar akan emosi dirinya, apa yang sedang terjadi dengan dirinya, tentu dengan bantuan psikolog. Seperti mengakui, “Oh, ternyata selama ini saya masih dendam dengan seseorang.”
Saya refleksikan lagi karena sempat berpikir, apakah pemikiran dan praktik seperti itu bisa diterima dalam perspektif Islam ? Saya kaitkan dengan materi tasawuf sejauh yang dipahami. Allah menampakkan penyakit hati tiap orang dengan cara yang berbeda-beda. Bagi orang yang bertaubat, ditampakkannya penyakit hati merupakan hal penting karena individu bisa menyadarinya dan berniat melakukan perbaikan diri agar penyakit tersebut hilang sedikit demi sedikit. Dalam konteks konseling dan psikoterapi, konsep humanistik mungkin bisa diterapkan bagi orang yang terlanjur larut dalam syahwat aau hawa nafsunya tapi ada potensi untuk bertaubat. Emosi klien sengaja dimuntahkan, biarkan dia mengekspresikan sesuka hati. Setelah emosi mereda dan klien bisa diajak berpikir, psikolog membantunya melakukan refleksi atas ekspresi emosi yang barusan ditampilkan. Caranya bisa dengan melabel emosi tersebut dan mengidentifikasi jenis penyakit hati apa yang sedang dideritanya. Harapannya adalah klien akhirnya mengenal emosi yang sedang dialami sekaligus penyakit hati yang mengendap sekian lama. Pilihan tetap ada pada klien: apakah ingin sembuh dari penyakit itu atau tetap menyimpannya. Jika ingin sembuh, proses konseling bisa menjadi titik awal untuk taubat.
Orang yang sehat jiwanya adalah yang dapat mengenali dan meregulasi emosinya, bukan mengingkari adanya emosi itu. Ketika sedang marah di tempat umum, dia sadar bahwa dirinya sedang marah. Kesadaran bahwa marah itu menguras energi dan berdampak buruk bagi dirinya, mendorongnya berusaha untuk meregulasinya, yaitu dengan tidak mengekspresikannya. Salah satu caranya bisa dengan istighfar. Terkesan simpel ya, ketika diuraikan secara rasional.. Namun, pada kenyataannya akan sangat sangat sulit untuk dipraktikkan, terutama bagi orang yang tidak menyadari emosinya.
Jika memang emosi baik positif atau negatif harus diingkari, untuk apa Allah menciptakan emosi senang, geli, kecewa, sedih, takut, marah, dan sebagainya ? Apa jadinya hidup tanpa emosi ? Emosi itu diregulasi, bukan diingkari.
Selamat mencoba ! :)
Diposting oleh RIZKA di 21.59 0 komentar
Label: my experience, psikologi, tashowwuf
Selasa, 12 Mei 2015
Bagaikan Tuan yang Bijak
Diposting oleh RIZKA di 06.07 0 komentar
Label: tashowwuf
Sabtu, 14 Maret 2015
Kembali ke rumah, kembali menulis
Baru nongol lagi nih setelah sekian lama ga nge-blog.
Alhamdulillah, aku kembali ke rumahku di Jogja setelah 4,5 tahun merantau di kota orang. Memang rumah Jogja ini bukan tempat kembaliku yang sebenarnya. Kita semua akan kembali pada Allah kan, badan aja bakal hancur dimakan mikroba di tanah, bener ga ?
Terus, apa yang akan aku lakukan setelah selesai masa studi di tanah rantauan ?
Setelah beberapa kali mempertimbangkan & mohon petunjuk Allah, aku tetapkan diri untuk tinggal di Jogja dalam jangka waktu yang lama, bukan seperti liburan yang hanya beberapa minggu saja. Berharap bisa lanjut kuliah di sini dan ya.. Entah ke mana lagi setelah itu. *Parah, padahal semestinya dah mulai punya proyeksi karena itu ditanyakan saat seleksi ujian masuk.
Balik lagi ke rumah Jogja, bakal ada banyak sekali hal yang membuat mata melebar, dada sesak, alis terangkat, terlinga panas, dan sebagainya. Gimana ga ? Aku hidup bersama orang-orang dari 3 generasi: eyang, bapak ibu, adek-adek. Eyang dengan karakteristik orang dari cohort 1930-an, bapak ibu sebagai orang dewasa madya, dan adek-adek yang masyaAllah bervariasi (late childhood, early adolescence, middle adolescence). Mereka punya keunikan masing-masing, value yang berbeda pula. Konflik sangat mungkin terjadi. Sebuah setting yang menurutku baru, bagi anak yang sudah biasa jauh dari rumah.
Tempat belajar hidup nih.. Belajar dalam arti luas, termasuk tetap lanjut mempelajari hal-hal yang didapatkan selama di Depok. Walaupun aku punya tampang pengangguran gini, rasanya seperti kuliah. Masih ada proyek nulis, bantu penelitian dosen, lanjut baca-baca buku psikologi Islam, dsb. Yang bikin seru adalah, gimana caranya bisa jalanin hidup sebagai manusia dengan multi peran: mbak, anak, cucu, pelajar. Pas belajar, ujug-ujug dipanggil. Lagi ngerjain tugas diminta ke dapur. Lagi nulis diajak ngobrol. Harus bisa menyesuaikan diri.
Tempat belajar lebih dari sekedar memperbaiki skill mengelola peran, tapi juga meningkatkan kematangan jiwa. Ga boleh egois, menahan nafsu yang cenderung pada hal-hal duniawi, menahan emosi negatif yang akan terekspresikan, ga boleh gampang mengeluh, dan sebagainya. Memang di sini bukan tempat yang bagus untuk pematangan jiwa, tapi ini adalah ujian.
Entah sampai kapan bisa belajar hidup di sini, yang jelas aku coba ikuti saja skenario yang dibuat oleh Pembuat Skenario Terbaik sepanjang masa.
Diposting oleh RIZKA di 22.59 0 komentar
Label: my experience