Senin, 25 Agustus 2014

Memimpin diri dulu

Lihat ke sana ke mari, tapi lupa lihat diri sendiri.

Bagaimana keadaan diri yang tak peduli dengan diri sendiri ?

Bisakah ? 
Seseorang membantu orang lain mengendalikan diri, sementara mengendalikan dirinya sendiri saja tidak bisa ? 
Menolong orang lain dengan baik, sementara menolong diri sendiri saja masih sulit ?
Mendidik orang lain dengan benar, sementara mendidik diri sendiri sana belum mampu ?
Memimpin beberapa orang dengan benar, sementara memimpin diri sendiri saja masih kacau ?

Kalau belum peduli dengan diri sendiri yang lebih dekat dari sejauh mata memandang, telinga mendengar, ataupun kulit merasa, coba mulai perhatikan diri sendiri. Di dalam diri, terdapat hati. Hati yang memimpin, itulah diri yang berhasil ! Keberhasilan memimpin diri akan mengantarkan pada keberhasilan memimpin lainnya, di samping mempelajari ilmu-ilmu kepemimpinan.

Selamat mencoba !

Minggu, 17 Agustus 2014

Memimpin diri sendiri: Antara raja dan tentara dalam kerajaan tubuh manusia


Teringat pada pernyataan Imam Abu Hamid Al Ghozali dalam Buku “Keajaiban Hati”. Tubuh manusia ibarat kerajaan. Hati (qalb) sebagai raja yang memimpin, akal sebagai perdana menteri, syahwat (sepertinya juga mencakup hawa nafsu) sebagai tentara. Ada pula anggota tubuh, indera, segala daya yang dipunyai manusia. Tiap-tiap komponen memiliki peran masing-masing. Jika ada satu saja yang membelot dari perannya, kehancuran pada kerajaan bisa terjadi.

Ada satu yang berpotensi untuk membelot dan mengacaukan sistem kerajaan tubuh, yaitu hawa nafsu. Dia haus akan kekuasaan. Kekuatannya sebagai tentara tidak dianggap remeh. Ketika berkuasa, semua tentara yang lain dan warga kerajaan dipaksa tunduk padanya. Hawa nafsu yang memimpin membuat manusia marah karena hal sepele, dendam ketika disakiti orang lain, atau haus akan jabatan agar dirinya berkuasa atas orang lain. Itu contoh-contoh perilaku orang yang dalam hatinya ada penyakit. Kacau bukan ? Itu sebabnya hati lah yang punya otoritas memimpin karena ia tempat cahaya Allah bersemayam. Hati yang sehat bagaikan representasi Allah dalam kerajaan tubuh manusia. Beda sekali dengan hawa nafsu yang bisa mengacaukan. Meskipun begitu, peran hawa nafsu sangat dibutuhkan.

Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya kerajaan tanpa tentara ? Musuh yang datang menyerang akan membuat kerajaan hancur. Kerajaan tubuh tanpa hawa nafsu membuat manusia hidup tanpa dorongan, motivasi, tidak punya keinginan apapun, tidak marah ketika kebenaran dilecehkan, tidak semangat ketika ada kesempatan emas datang. Hidup rasanya datar-datar saja. Ingat, ini kerajaan tubuh manusia, bukan malaikat !

Hawa nafsu pun bisa menjadi tentara tangguh yang melindungi dan mendorong kerajaan tubuh agar tetap maju. Ia pun juga bisa berpotensi untuk mengacaukan kerajaan.

Kapan hawa nafsu bisa jadi tentara yang baik atau pengacau kerajaan ?
Lihat lagi, dia menjadi tentara bagi siapa ? Pada hati tempat cahaya Allah masuk, atau pada syaithan yang jelas-jelas tugasnya mengganggu manusia ?

Tentu saja hawa nafsu harus tunduk pada hati. Hati sebagai raja dan hawa nafsu sebagai tentara. Dijamin, kerajaan damai dan aman. Ini terjadi ketika raja sedang kuat. Ketika melihat hawa nafsu berusaha melakukan kudeta terhadap raja dengan kepentingan buruk, dia akan dengan tegas berkata, “Hei kamu, Diam ! Aku raja, kamu tentara. Jadi kamu yang harus patuh padaku. Lakukan tugasmu sebagai tentara.”  Hawa nafsu pun akan kembali taat, “Ya Tuan, maafkan aku. Aku akan kembali bertugas.”

Berbeda halnya ketika raja sedang melemah dan hawa nafsu berkuasa. Dia membawa kepentingan syaithan yang tidak sesuai fitrah manusia, jelas-jelas menyimpang dari visi misi awal kerajaan tubuh, yaitu beribadah pada Allah. Kerajaan akan terus kacau selama raja masih lemah karena dia belum bisa bertugas. Maksiat akan terus dilakukan. Raja juga bisa tertidur atau bahkan mati (hati yang dikunci mati karena saking bebalnya, menolak hidayah Allah). Sayangnya tidak banyak manusia yang menyadari bahwa raja di dalam dirinya sedang tertidur.


Raja yang tertidur masih bisa bangun. Seberapa lama ia tidur bergantung pada kualitas manusia itu sendiri. Ketika raja terbangun, ia akan langsung mengambil alih kerajaan dari hawa nafsu yang mengacau. Manusia yang bermaksiat pun akan menyesal, beristighfar, melakukan muhasabah. Inilah manusia yang hatinya memimpin kerajaan tubuh. Dia berhasil memimpin dirinya !

Sabtu, 28 Juni 2014

Fokus Riz.. Fokus !

Marhaban Ya Ramadhan !

Semoga kita bisa mengisi Ramadhan ini untuk memperbaiki diri, kawan.. Ambil hikmah semua kejadian yang menimpa. Nah, kali ini aku mau cerita kejadian yang ‘ajib di malam pertama Ramadhan. Kenapa sampai aku bilang ‘ajib alias menakjubkan ? Simak cerita berikut..

Sudah dengar pengumuman bahwa besok adalah 1 Ramadhan, berarti malem ini sudah mulai sholat tarawih. Aku sengaja sholat di MUI. Seperti biasa, di awal Ramadhan masjid masih penuh. Masih semangat-semangatnya nih (harapannya tiap orang punya semangat yang konsisten untuk seterusnya). Saking semangatnya, anak-anak juga ikut orang tuanya ke masjid.

Mereka bertaburan di masjid. Posisiku aja berdekatan dengan mereka. Di depan ada seorang ibu dengan 2 anak perempuan yang banyak geraknya, di sebelah kiri juga ada ibu dengan satu anak perempuan dan satu anak laki-laki.

Kejadian yang ‘ajib ini dimulai ketika sholat ‘isya. Pengennya kalau sholat bisa khusyu’, tapi ternyata Allah mengujiku dengan terlihatnya setitik cairan coklat tua di tempat sholatku. Perhatianku sempat teralihkan, konsentrasi saat sholat buyar, tapi aku tetap berusaha mengembalikan perhatianku pada-Nya. Cairan itu aku lupakan, lalu ternyata stimulus serupa muncul melalui indera lain. Kali ini bukan lewat mata, namun lewat hidung. Pas sujud, aku mencium aroma permen kopi. Hummmm. Harumnya. Untungnya ini ga terlalu mengganggu. Lebih baik daripada sujud di alas yang bau apek.

Selesai sholat, aku baru bisa menghilangkan pemandangan yang mengganggu itu. Minta tisu pada ibu di sebelahku, lalu aku bersihkan. Ibu itu juga bilang, “Ngilangin permen kopi ya ?”

Aku jawab “Ya”

“Di tempat lain juga banyak tuh. Tadi ada anak-anak main, mungkin permennya jatuh.”

Baiklah. Jadi ini ulah anak-anak. Kumaklumi.

Sholat berjalan normal, ga ada masalah sampai sholat witir. Kejadian ‘ajib muncul lagi saat sholat witir. Dua anak perempuan di depanku mulai berulah. Lari-lari memotong shof sholat, termasuk punyaku. Salah satu dari mereka narik-narik mukena ibu-nya, terus dibawa muter mengelilingi beliau. Sempet kejar-kejaran sambil muterin ibunya. Parahnya, salah satu anak itu ga sengaja menginjak susu kotak yang ada di dekat ibunya.

“Craaat,” andaikan telingaku bisa mendengar pemandangan itu, suaranya air susu yang muncrat mungkin akan seperti itu. Dengan cepat air itu membasahi tas mukena milik orang lain yang sholat di sebelahku.
Sudah deh. Konsentrasiku buyar. Buktinya, aku masih ingat kejadian itu dan bisa menggambarkan dengan jelas melalui tulisan ini. Apalagi aku risih lihat air tumpah. Kalau ada air tumpah di kamar, biasanya langsung aku lap. Sayangnya, aku ga bisa melakukan itu karena sedang sholat.

“Riz.. fokus Riz. Balik ke sholat. Ayo, berusaha khusyu’”

Ah.. itu pasti si hati sudah mulai mengingatkan. Tapi rasanya susah sekali bagi si akal untuk memusatkan perhatian kembali pada aktivitas sholat. Pemandangan barusan benar-benar membekas, apalagi mereka masih melanjutkan aktivitas mereka.

Wajar sih, masa anak-anak memang lagi banyak gerak. Inget mata kuliah psikologi perkembangan. Tahap early childhood itu anak sedang mengembangkan gross motor skill, atau keterampilan motorik kasar. Wajar saja mereka banyak berlari. Aku maklum dengan itu. Di sisi lain, aku lihat ibu dengan dua anak di sebelahku. Salah satu anaknya sholat dengan cukup tertib. Ga buat masalah. Aku ga tau apa persisnya yang membuat perbedaan perilaku anak. Bisa karena cara orang tua mendidik anak, lingkungan di rumah, atau dari karakter anak itu sendiri.

Dari kejadian ‘ajib itu, aku bisa mengambil dua hikmah:
1.     1. Ini beneran ujian dari Allah. Dia menguji kekhusyu’an sholatku. Lain kali, aku harus tetap mempertahankan kekhusyu’an sholat dengan memilah dan memilih stimulus dari luar, mana yang perlu diperhatikan, mana yang harus diabaikan. Yang perlu diperhatikan contohnya seperti Rasulullah Sallahu ‘alahi Wassalaam yang memperlama sujud ketika cucu beliau duduk di punggung. Kalau dianggap ga penting, bisa saja beliau bangkit dari sujud sementara cucunya jatuh. Sementara stimulus yang seharusnya diabaikan adalah kejadian yang aku alami sebelumnya. Serius, kalau dipikir-pikir ga penting banget memikirkan susu tumpah saat sholat. Kejadian itu bisa diatasi setelah sholat selesai.
2.     2. Hikmah lain adalah gimana caranya bisa mendidik anak untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Aku tau, anak kecil butuh banyak gerak untuk mengembangkan gross motor skill, tapi ada waktu dan tempatnya untuk melakukan banyak gerakan itu. Setting masjid dan sholat jama’ah tarawih bukan tempat yang tepat untuk banyak bergerak. Jadi, ajari anak dengan sabar untuk jangan lari-lari di masjid terutama ketika orang-orang lain sedang sholat. Kalau mau lari-lari, nanti di luar masjid setelah sholat jama’ah sudah selesai. Tentu proses mendidik seperti ini, mengajari anak menempatkan sesuatu pada tempatnya, bukan proses yang instan. Orang tua harus sabar yang jelas. Sabar dalam arti bukan pasrah, terserah mau ngapain, tapi berusaha dengan pantang menyerah tanpa perlu marah-marah dalam menasihati anak dan optimis akan ada perubahan yang lebih baik.


Begitulah Allah mengajariku melalui dua kejadian ‘ajib malam ini. Semoga kawan-kawan pembaca juga bisa mendapatkan hikmah setelah membacanya : )

Senin, 19 Mei 2014

Jangan sombong

“Selamat  yaa.. Lo juara 1 di kelas ini.”

“Ya nih. Dah pinter pelajaran, pinter buat puisi pula. Kreatif !”

Aku baca komentar temen-temenku di Facebook. Langsung saja, saat itu juga… jantungku berdetak kencang. Mulutku menyunggingkan senyum. Dalam pikiranku, aku berkata, “Diriku memang hebat. Aku bangga dengan semua kemampuanku !”

“Eittts. Jangan lebay dulu. Jangan bangga berlebihan.”

Itu suara yang sudah sangat aku kenal. Suara yang tidak pernah terdengar telinga, tapi sangat jelas. Ini bukan halusinasi ataupun ilusi. Suara itu memang nyata. Aku dengarkan perkataan dia, hati.

“Ingat ingat ingat. Semua yang kamu punya itu, berasal dari Allah. Seharusnya kamu bersyukur.”
Aku diam, mendengarkan kata hatiku. Belum mengerti, pikiranku bertanya, “Aku belum paham. Logikanya terlalu lompat. Apa maksudmu, hati ?”

“Lupakah dirimu ? Allah Maha Mengetahui, Dia yang punya semua ilmu. Lihat saja karya-Nya yang sehari-hari kamu baca, Al-qur’an. Indah bukan ? Dia jauh lebih kreatif dari dirimu ! Kamu hanya diberikan sebagian kecil ilmu-Nya dan sifat kreatif-Nya. Hasilnya, kamu jadi juara satu di kelas dan pandai membuat puisi. Bersyukurlah… Dia mengizinkan kamu untuk menerima sebagian kecil sifatnya.”

Kini, aku paham. Tidak ada alasan untuk menyombongkan diri. Sekeras-kerasnya aku belajar, serajin-rajinnya aku menulis puisi hingga aku pandai, izin-Nya tetap berlaku. Keadaanku seperti inilah juga berkat kehendak-Nya.  Ilmu itu cahaya Allah, bukan sekedar hasil pemikiranku sebagai manusia yang miskin ilmu.


Terima kasih hati, sudah mengingatkanku : )

Minggu, 18 Mei 2014

Fenomena The loss of Adab: Ibu-Ibu dan Ibu Hamil

Teman-teman, aku sengaja nulis lagi di blog pribadiku. Harus nulis karena dorongan untuk menuliskan pengalaman ini ga bisa ditahan.
Hari ini, rasanya mataku menerima beberapa stimulus yang ga mengenakkan, membuat hati ga nyaman. Aku ceritakan salah satu saja…
Pagi hari sekitar pukul setengah 10, aku duduk di bangku besi yang panjang, menunggu kereta ke arah Jakarta Kota. Posisi dudukku di ujung. Beberapa meter ke arah selatan, ada beberapa ibu yang duduk. Di paling ujung ada seorang ibu, sebelah kiri beliau ada anak laki-laki yang masih kecil. Sepertinya dia memang anaknya karena terlihat adanya komunikasi yang intens. Sebelah kirinya lagi, ada ibu-ibu lain. Tempat duduk relatif penuh saat itu..

Beberapa saat kemudian, seorang ibu hamil datang. Ibu itu terlihat masih muda dan usia kehamilan sudah cukup tua. Karena tempat duduk penuh, beliau terpaksa berdiri. Posisi beliau ada di depan bangku tempat duduk ibu-ibu yang aku sebutkan sebelumnya. Di menit pertama, ga ada satupun dari mereka  berdiri dan mempersilakan ibu hamil itu duduk di tempat mereka.

Akupun berdiri. Maksud diriku untuk mempersilakan ibu itu duduk di tempatku. Ternyata aku telat, tempat dudukku sebelumnya keburu dipakai orang lain.

Aku mengamati ibu-ibu yang daritadi duduk di belakang ibu hamil itu. Miris rasanya. Sesama perempuan, tapi kenapa ga ada empati ya ? Ga ngerti apa sebabnya, tapi aku memikirkan  beberapa kemungkinan. Pertama, kumpulan ibu yang duduk berjejeran itu memang bener-bener ga lihat ada ibu hamil yang berdiri di depan mereka, tapi asumsiku itu sepertinya terbantahkan. Ibu hamil itu berusaha duduk di tempat yang tersisa, paling ujung, dekat ibu yang membawa anaknya. Sayangnya, sisa tempat itu ga cukup, lalu ibu hamil itu berdiri lagi. Kemungkinan kecil banget kalau sampai ibu-ibu itu bener-bener ga lihat ibu hamil yang berdiri di depan mereka, apalagi saat beliau coba duduk di bangku itu. Semestinya para wanita bisa kan, membedakan mana ibu yang sedang hamil besar dengan orang yang sedang ga hamil ?

Duh… Kasihan banget.. Bodonya, aku ga kepikiran “memaksa” orang lain yang sudah duduk, untuk mengalah dengan mempersilakan ibu hamil itu duduk di tempatnya. Aku lihat masih ada celah beberapa senti di sebelah kiri anak laki-laki itu. Sebenernya bisa saja ibunya menyuruh anak itu geser, tapi ternyata ga.

Pas banget, aku lihat ada tempat kosong di bangku lain. Aku bilang ke ibu hamil itu, menyuruh beliau untuk duduk di tempat itu. Beliau tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Ga lama setelah itu, kereta datang…
Cerita belum berakhir. Aku lanjutkan pikiranku tentang fenomena ini.

Kemungkinan kedua, ibu-ibu itu tau kalau ada ibu hamil berdiri di depan mereka, tapi ga punya ilmu yang memadai tentang ibu hamil: ga tau bahwa ibu hamil kondisi fisiknya cenderung lebih lemah daripada ibu yang ga hamil. Dengan asumsi itu, jadi mereka ga merasa bersalah dengan tindakan mereka untuk tetap duduk. Aku berpikir… Bingung. Kalau kemungkinan kedua benar, rasanya aneh. Salah satu ibu yang duduk di bangku besi itu membawa anak kecil, yang menurutku itu anaknya.  Kalau memang itu anaknya, pasti dia merasakan gimana susahnya mengandung anak, jadi punya ilmu tentang kondisi fisik kehamilan wanita secara umum. Kalau memang semua ibu yang duduk di bangku itu belum pernah hamil, semestinya mereka berpikir gimana kalau suatu saat nanti mereka hamil. Mestinya mereka, walaupun mungkin ga punya ilmu tentang kondisi fisik ibu hamil, membayangkan gimana rasanya hamil dan terpaksa berdiri di tempat umum karena ga dapet tempat duduk.  

Kemungkinan ketiga, sebenernya mereka punya ilmu tentang kondisi fisik ibu hamil. Tapi, karena ada penyakit di dalam hati mereka yang aku sendiri ga tau apa tepatnya, mereka cuek dengan keberadaan ibu hamil yang berdiri di depan mereka. Ini yang paling berbahaya karena penyakit hati sulit disembuhkan kalau si pemilik hati ga merasa ada penyakit dalam hatinya. Seperti seseorang yang sebenernya kecapekan dan sudah mulai terlihat pucat, tapi dia ga merasa capek, atau bahkan berpikir dirinya tetap sehat-sehat saja. Orang yang mengingkari dirinya punya penyakit hati, misal sombong, tetap bakal ga sadar dengan kesombongan itu, apalagi kesadaran untuk menghilangkan kesombongan dalam hatinya.

Kalau kemungkinan ketiga benar, inilah yang namanya the loss of adab, menempatkan sesuatu di tempat yang ga semestinya.. Mereka tau kalau ibu hamil fisiknya cenderung lebih lemah daripada ibu yang ga hamil, tapi mereka salah menempatkan diri. Kalau mereka punya adab yang baik, mereka sadar diri. Dengan keadaannya yang ga hamil dan tentu saja lebih kuat  berdiri, mereka akan menempatkan diri dengan tepat, yaitu memilih untuk berdiri dan mempersilakan ibu hamil itu duduk. Secara bersamaan, mereka menempatkan ibu hamil di posisi yang tepat. Kondisi itu terjadi ketika sudah ada ilmu.
 Masalahnya, di situasi yang aku lihat justru yang terjadi sebaliknya. Ada ilmu, tapi salah menempatkan. Yang lebih kuat justru tetap duduk. Yang lebih lemah malah berdiri. Ini namanya ga adil. Adab yang salah ga mungkin menciptakan keadilan.

Aku ga suka melihat situasi itu, ketidakadilan. Wajar saja kalau hati ga nyaman. Ada yang mengganjal rasanya. Memang semestinya begitu karena hati manusia secara fithroh menolak ketidakadilan. Kalau justru suka dengan ketidakadilan, perlu dicek lagi. Mungkin ada penyakit dalam hatinya, atau kurang ilmu.


Ini baru satu, dan masih banyak ketidakadilan lainnya yang terjadi, karena adanya the loss of adab. Ya… memang harus menguatkan jiwa & raga untuk menghadapi berbagai fenomena the loss of adab.

Kamis, 24 April 2014

Buku TerBesar

Siang itu di sebuah Sekolah Menengah Atas di Kota Preintellectia, sebuah Kota yang namanya belum pernah terdengar oleh penduduk dunia ini.

Bu Nara sebagai guru mata pelajaran Sastra, memberikan tugas untuk para murid.
“Anak-anak, untuk tugas minggu depan, buat ringkasan tentang salah satu buku kesukaan kalian. Buku apapun itu, ringkasan maksimal 10 halaman... Beberapa dari kalian akan saya minta menyampaikan tugas secara lisan di kelas. Terlambat mengumpulkan, nilai kosong.”
Suasana kelas sedikit ricuh. Para murid bertanya-tanya, memikirkan buku yang akan dijadikan bahan tugas.
Tidak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi tepat pukul 14.00.
“Ada pertanyaan ?”
Suasana kelas kembali sunyi.
“Jika tidak, kita akhiri kelas ini dengan membaca do’a.”
Setelah tiap orang membaca do’a dalam hati, kelas dibubarkan. Hampir semua anak berisik,  bertanya-tanya tentang tugas yang barusan diberikan Bu Nara.
“Kamu mau pakai buku apa ?”
“Bingung.”
“Aku mau pakai novel yang baru-baru aja deh…”
Banyak sekali percakapan tentang buku dan hampir semua anak di kelas itu berbicara  hingga membuat suasana kelas gaduh. Sementara salah seorang murid, bernama Areef terdiam untuk berpikir. Di dalam pikirannya, dia sudah tahu apa yang akan ditulis. Tentu saja, tidak jauh dari apa yang dipelajarinya selama ini.
***
            Areef masih tersenyum-senyum di perjalanan menuju rumah. Melihat indahnya awan putih yang terbentang jauh di atas kepalanya, ditemani matahari yang sinarnya menyilaukan.  Pohon-pohon berdaun lebat menyejukkan pandangan tumbuh di hutan kota. Bukan saja makhluk hidup yang dilihatnya. Besi-besi pagar pun yang kokoh juga dilihatnya sepintas. Dilihatnya juga pemurahnya orang yang memberikan sedekah pada yang membutuhkan. Semuanya terlihat begitu indah di matanya. Dia berpikir dalam diamnya mulut dan terbukanya mata. Tiba-tiba…
“Reef, Kenapa senyum-senyum sendiri ?” Rio, seorang teman sekelas menegurnya.
“Mikirin buat tugas Sastra.”
“Emang, mau ringkas buku apa ?”
“Ya nanti pas dah kumpulin tugasnya, kamu bakal tau.”
“Payah... Sama temen sendiri aja ga mau cerita.”
“Bukannya ga mau, tapi aku belum siap aja. Kamu bakal bingung kalo aku cerita pas lagi ga siap gini.”
“Oke lah. Kayaknya bukumu berat. Ya udah. Aku jalan duluan.”
“Ati-ati di jalan Rio.”
***
            Sesampainya di rumah, Areef berwudhu, menenangkan jiwanya, lalu mencicil tugas Sastra. Berwudhu sebelum belajar memang sudah menjadi kebiasaannya, karena itu bisa membersihkan dan menyiapkan  jiwanya. Ini yang membuat pikirannya segar dalam belajar. Tidak mengherankan, karena jiwa yang bersih dan siap akan membuat pikiran berfungsi dengan baik ketika belajar. Dia meyakini adanya hubungan yang harmonis antara jiwa dan pikiran.
Penulisan pun dimulai… Dia tidak banyak bicara. Hanya jiwa, pikiran, dan tangan yang terlihat aktif.
“Sepertinya judul Buku terBesar bagus nih. Bismillah…”
Dimulai dengan membuat kerangka tulisan, kemudian menuliskan nilai-nilai yang ingin ditanamkan. Tak lupa juga membuka buku-buku referensi karena merasa ilmu yang dimiliki perlu dipastikan memang benar dan sesuai dengan sumber aslinya. Salah satunya adalah Al-qur’an.
Batinnya mengatakan, “Terserah reaksi orang-orang nanti seperti apa. Yang penting aku sampaikan apa yang ada di pikiran. Ini kebenaran.”
Kreativitas dalam berpikir pun turut menghiasi tulisan dalam ringkasannya. Buku yang ia ringkas bukanlah buku biasa. Ini buku raksasa. Terlihat sangat jelas, menjadi petunjuk bagi seluruh makhluk, sehingga orang yang melihatnya pun akan teringat pada Siapa Yang Menulis buku ini.
Setelah dirasa cukup, dia mengerjakan tugas-tugas lainnya.
***
H – 1 pengumpulan tugas meringkas buku
“Eh Ri, gimana tugas dari Bu Nara ? Besok kan deadline ?”
“Udah selesai. Yippi… Aku pakai novel ‘Romantika Pemuda Pemudi’ ”
“Eh itu buku baru bukan sih ? Keren banget. Aku bahkan belum mulai ngerjain.”
“Males banget perasaan. Parah !”
“Ya.. Santei lah. Aku kan cepet ngerjainnya. Hahaha”
Dialog kedua teman itu terdengar oleh Areef. Mengabaikan itu, dia menyelesaikan tugas sastra tentang Buku terBesar. Hanya melakukan sedikit editing, tugas itu sebentar lagi akan selesai.
***
Hari H pengumpulan tugas meringkas buku.
Hari itu memang sudah dialokasikan untuk penyampaian ringkasan buku oleh beberapa anak yang ditunjuk Bu Nara. Semua murid sudah mengumpulkan tugasnya, sebagian besar melakukan itu karena takut nilai untuk tugas ini kosong, seperti yang diancamkan Bu Nara minggu lalu.
Bu Nara memanggil beberapa murid saja. Tiap anak diberi waktu 10 menit untuk berbicara di depan…
Di 10 menit terakhir sebelum jam pulang sekolah, nama Areef disebut. Tanpa perlu persiapan panjang, dia langsung maju.
“Buku yang saya ringkas berjudul ‘Buku TerBesar’.”
Terdengar desas-desus murid-murid lain yang mempertanyakan buku itu.
“Pasti baru dengar kan ? Bagaimana ini kalian ? Buku ini sudah ada dari dulu. Jaman dinosaurus hidup aja sudah ada.”
Bu Nara langsung menanggapi,” Areef, bisa kah langsung  saja sampaikan apa saja yang penting tentang bukumu ?”
“Baik Bu… Buku terBesar ini adalah alam semesta. Sengaja saya menceritakan buku ini, mengingat tidak ada batasan yang jelas dari Bu Nara tentang ‘buku’ itu sendiri.”
Bu Nara menanggapi dengan anggukan mantap, “Oke Areef, lanjutkan !”
“Saya ceritakan Penulis buku ini. Dialah Allah, Tuhan Semesta alam. Dia memperkenalkan dirinya melalui penciptaan alam raya ini. Dia yang Maha Pemberi rizki, menciptakan hujan yang memberi banyak manfaat pada penduduk bumi. Itu artinya hujan mencerminkan sifat-Nya yang Maha Pemberi rizki. Dia yang Maha Kuat, menciptakan besi yang kokoh. Besi mencerminkan sifat-Nya yang Maha Kuat. Dia yang Maha Penghitung, membuat semua hal punya kadar masing-masing yang proporsional. Tiap makhluk dengan kadar yang proporsional memperlihatkan sifat yang Maha Penghitung.”
Areef yang peka dengan keadaan teman-teman sekelasnya punya inisiatif tersendiri, “Bu, saya boleh menampilkan gambar-gambar juga lewat Power Point ? Sepertinya teman-teman sudah mulai kehilangan konsentrasi.
“Ya, silakan Areef, tapi ingat waktu ya, sebentar lagi jam pulang sekolah.”
“Baik Bu” Sambil dia menyiapkan tampilan power point yang kemarin sudah dibuatnya setelah tugas meringkas buku selesai.
Semua mata di kelas tertuju pada slide power point. 
“Jadi, semua yang ada di alam raya ini adalah tanda-tanda keberadaan-Nya, kalau kita mau buka hati untuk melihat. Semua sifat-sifat-Nya, sengaja dibuat dekat dengan para makhluk oleh-Nya. Kenapa demikian ? Ini karena Dia ingin dikenal oleh makhluk-makhluk-Nya.”
Sambil menjelaskan, sambil memindahkan slide berikutnya yang menampilkan beberapa keindahan alam semesta. Mulai dari hal yang sangat besar seperti galaksi-galaksi. Sampai yang terkecil: mikrokosmos dan kompleksitas tubuh manusia.
“Sekarang saya tanya. Apa pendapat kalian setelah lihat gambar-gambar barusan ?
Semua mata yang sebelumnya melihat ke arah slide, kemudian sebagian besar mulut mengeluarkan respon positif: “Keren banget”, “Bagus banget”, “Enak buat cuci mata”, dan semacamnya.
“Hampir semua dari kalian kagum kan ? Tapi, menurut saya adalah yang konyol jika kita terkagum-kagum pada buku, tapi lupa pada penulis buku. Sama halnya ketika sangat kagum pada indahnya alam semesta tapi lupa pada Siapa Penciptanya.”
Semua terdiam mendengar kata-kata yang menampar, namun membuat pikiran tersadarkan kembali dari kesenangan visual semata.
Areef langsung melanjutkan lagi, “Ada satu lagi yang terlupa, yaitu manusia. Kita sendiri  adalah buku kecil dan bagian dari Buku Besar alam semesta. Lihat betapa rumitnya diri kita ini.” Sambil memperlihatkan slide yang menampilkan rumit dan indahnya anatomi tubuh manusia, dari individu sampai tingkat sel.
“Bahkan seorang dokter yang paling ahli pun tidak ada yang tahu secara pasti seluruh aktivitas tubuh manusia pada tingkat sel. Ini semua menunjukkan Maha Besarnya Dia. ”
Bel pulang sekolah berbunyi. Areef berhenti, lalu berbicara bermaksud untuk mengakhiri penyampaiannya. “Sebenarnya saya belum selesai, tapi karena sudah waktunya pulang,…”
“Lanjutkan saja Areef.” Bu Nara memotong perkataan Areef dengan suara yang pelan. Tanpa sepengetahuan orang-orang di dalam kelas, matanya mulai berkaca-kaca.
Dua orang murid yang duduk bersebelahan mengeluh, “Aku dah laper banget nih”. “Parahnya kelas kita belum selesai.” Namun, situasi menghiraukan mereka. Tetap berjalanlah aktivitas di kelas itu,
Areef melanjutkan, “Baik Bu, Jangan khawatir, sedikit lagi selesai. Uniknya lagi, manusia adalah citra Allah di muka bumi, manusia punya potensi untuk memiliki banyak sifat Allah. Kita bisa jadi seorang penyayang, penghitung, pemurah, penyantun, pemaaf, membuat keindahan, punya kehendak, tahu banyak hal duniawi dan hal ghoib. Masih banyak sifat manusia yang tidak bisa disebutkan satu per satu, apalagi tiap manusia punya keunikan sendiri. Sadar kah ? Itu semua sifat-sifat Allah.”
Areef sengaja mengambil jeda selama beberapa detik untuk melihat reaksi sekelas. Ada beberapa yang masih fokus melihat slide, ada yang merenung, ada yang menatap kosong karena lapar, ada yang mengangguk-angguk pelan. Satu hal yang tidak dilihat anak-anak sekelas, Bu Nara yang sudah menangis tanpa suara.
“Kondisi Buku Besar kitta sekarang sudah memprihatinkan. Semua itu karena manusia. Payah kan ? Manusia sebagai makhluk yang sempurna justru berbuat kerusakan.” Sambil menampilkan slide bencana dan kekacauan: banjir, longsor, penggundulan hutan, memakai bahan peledak, membuat obat yang sebenarnya racun bagi tubuh, pengeboman kota, dan perang.
“Ini kenyataan yang harus kita hadapi bersama-sama. Orang-orang sudah lupa dengan Penulis Buku Besar ini, dan banyak yang hanya terpesona dengan Buku ini tanpa berpikir tentang Penulisnya, yaitu Tuhan semesta alam. Sebenarnya ringkasan saya tidak cukup untuk merangkum semua isi dari Buku ini. Masih banyak yang belum saya tahu, tapi saya cukupkan penyampaian ringkasan tentang Buku terBesar ini. Sekian dan terima kasih atas perhatian kalian semua.”
***
Bu Nara terlihat menangis dan para murid baru menyadarinya. “Ini ringkasan yang ….” Sambil mengelap air mata yang mengalir di pipirnya, “Saya bingung harus bilang apa.”
Semua murid terdiam melihat Bu Nara…
“Memang kau bijak sekali nak. Tak rugi orang tuamu menamaimu Areef.”
“Terima kasih Bu.”
Bu Nara menutup kelas menandakan berakhirnya aktivitas belajar di kelas itu.
***
            Siang itu, siang yang indah. Matahari menampilkan terik sinarnya. Besi pagar sekolah yang tetap kokoh dia lewati. Batu-batu tertata di pinggiran jalan kota yang sesaat dilihatnya. Pohon bambu di halaman luar sekolah berdiri tegak dengan tetap mempertahankan warna hijaunya. Semua terlihat diam, namun semua benda hidup dan mati mendo’akan Areef. Tanpa sepenglihatannya, namun dia yakin akan hal itu. Areef akan pergi ke kursus untuk mempelajari lebih jauh tentang Buku Besar ini dan Sang Penulis yang Maha Agung. Pantas saja seluruh makhluk mendo’akannya.

Rabu, 02 April 2014

Sampainya makna pada jiwa (1)


Saat makna sudah samapai jiwa, tak ada cerita seperti ini:

Rajin sholat, tetap bermaksiat.
Sudah tau harus berbuat baik, masih saja menyakiti orang.
Mengaku paham tentang Islam, tapi tetap teguh dengan pemikiran sekuler.
Sudah tau akhirat itu ada, tapi orientasi tetap ke dunia.
Banyak pengetahuan, tapi sedikit pengamalan.
Sudah tau manusia punya perasaan, tapi perkataan kasar.
Sudah tau diri butuh sehat, tapi sengaja membuat tubuh sakit.
Sudah tau manusia punya hati nurani, tetap saja terus mengingkari.

Timpang bukan ? Sayangnya itu tetap saja ada dan nyata. Ada apa dengan jiwa para manusia ini yang tak sanggup menerima makna ?
Ketahuilah, ilmu bukan sekedar masuknya informasi ke dalam kognisi, sebanyak apapun informasi itu. Lebih jauh dari itu: masuknya makna hingga jiwa. Informasi yang banyak tetap saja kosong ketika tidak membuat maknanya sampai pada jiwa. Itu makna semu. Kesemuan yang menjadi bibit ketimpangan.
Ketahuilah, ilmu itu cahaya Allah. Nuurun ‘alannuur.
Ilmu itu membawa pada keyakinan, bukan keraguan.
Ilmu itu ketika sampainya makna pada jiwa.

Ketika makna sudah sampai jiwa, hati menerima cahaya-Nya, segenap jiwa raga akan tunduk pada hati. Jika demikian, tak mungkin ada cerita-cerita penuh ketimpangan tadi.

Jadi, apa yang salah dengan diri yang terus berada dalam ketimpangan ?

Betah untuk berada di sana selamanya ?