Sabtu, 14 Maret 2015

Kembali ke rumah, kembali menulis

Baru nongol lagi nih setelah sekian lama ga nge-blog.

Alhamdulillah, aku kembali ke rumahku di Jogja setelah 4,5 tahun merantau di kota orang. Memang rumah Jogja ini bukan tempat kembaliku yang sebenarnya. Kita semua akan kembali pada Allah kan, badan aja bakal hancur dimakan mikroba di tanah, bener ga ?

Terus, apa yang akan aku lakukan setelah selesai masa studi di tanah rantauan ?
Setelah beberapa kali mempertimbangkan & mohon petunjuk Allah, aku tetapkan diri untuk tinggal di Jogja dalam jangka waktu yang lama, bukan seperti liburan yang hanya beberapa minggu saja. Berharap bisa lanjut kuliah di sini dan ya.. Entah ke mana lagi setelah itu. *Parah, padahal semestinya dah mulai punya proyeksi karena itu ditanyakan saat seleksi ujian masuk.

Balik lagi ke rumah Jogja, bakal ada banyak sekali hal yang membuat mata melebar, dada sesak, alis terangkat, terlinga panas, dan sebagainya. Gimana ga ? Aku hidup bersama orang-orang dari 3 generasi: eyang, bapak ibu, adek-adek. Eyang dengan karakteristik orang dari cohort 1930-an, bapak ibu sebagai orang dewasa madya, dan adek-adek yang masyaAllah bervariasi (late childhood, early adolescence, middle adolescence). Mereka punya keunikan masing-masing, value yang berbeda pula. Konflik sangat mungkin terjadi. Sebuah setting yang menurutku baru, bagi anak yang sudah biasa jauh dari rumah.

Tempat belajar hidup nih.. Belajar dalam arti luas, termasuk tetap lanjut mempelajari hal-hal yang didapatkan selama di Depok. Walaupun aku punya tampang pengangguran gini, rasanya seperti kuliah. Masih ada proyek nulis, bantu penelitian dosen, lanjut baca-baca buku psikologi Islam, dsb. Yang bikin seru adalah, gimana caranya bisa jalanin hidup sebagai manusia dengan multi peran: mbak, anak, cucu, pelajar. Pas belajar, ujug-ujug dipanggil. Lagi ngerjain tugas diminta ke dapur. Lagi nulis diajak ngobrol. Harus bisa menyesuaikan diri.

Tempat belajar lebih dari sekedar memperbaiki skill mengelola peran, tapi juga meningkatkan kematangan jiwa. Ga boleh egois, menahan nafsu yang cenderung pada hal-hal duniawi, menahan emosi negatif yang akan terekspresikan, ga boleh gampang mengeluh, dan sebagainya. Memang di sini bukan tempat yang bagus untuk pematangan jiwa, tapi ini adalah ujian.

Entah sampai kapan bisa belajar hidup di sini, yang jelas aku coba ikuti saja skenario yang dibuat oleh Pembuat Skenario Terbaik sepanjang masa.


Kamis, 18 September 2014

Pelajaran di balik sakit

Beberapa hari ini aktivitas-aktivitas sengaja aku kurangi. Rasanya pengen banyak istirahat.Benar kan? Daripada memaksakan diri ke kampus dalam rangka mengerjakakan skripsi, sementara mau bernapas aja agak susah, lebih baik istirahatkan diri dan jangan terlalu banyak mikir. Itu pelajaran yang bisa diambil dari sakit: secara tidak langsung terbebaskan dari kesibukan beberapa saat. Yeay !
*Salah fokus.. Bukan, bukan itu pelajaran utamanya.

Jauh dan lebih dari sekedar membebaskan diri dari kesibukan, aku bisa petik beberapa “buah” pelajaran dari “pohon” sakit flu berat ini yang mengakibatkan agak susah bernapas:
1    1. Aku semakin ingat, Allah yang menyembuhkan siapapun dari sakit, sementara obat hanyalah bantuan tambahan. Mengingat Allah (dzikrullah) adalah obat untuk jiwa, sementara makan atau minum yang masuk pencernaan adalah obat untuk badan. Jadi, perlu berdo’a juga kalau memang ingin sembuh.
2     2. Berusaha untuk sabar. Menahan diri dari mengeluarkan keluhan yang tidak bermanfaat, optimis bakal sembuh, dan terus berusaha untuk sembuh. Usahaku antara lain: menghindari angin malam, minum ramuan-ramuan herbal, banyak minum air putih hangat, dan istirahat yang cukup.
     Aku juga bukan tipe orang yang gampang minum obat kimiawi dan ke dokter untuk mendapatkan resep obat. Menurutku, obat dari bahan alami jauh lebih baik daripada obat kimiawi walaupun proses penyembuhannya lebih lama. Jauh lebih baik repot-repot meracik minuman jahe, madu dicampur jeruk nipis, merebus air, daripada minum obat kimiawi yang instan. Sakit seperti pilek, demam, dan batuk, itu semua kan reaksi tubuh setelah ada benda asing, seperti virus atau bakteri yang masuk. Lendir saat pilek membantu memblokir benda asing yang berusaha masuk ke tubuh, supaya jangan sampai masuk lebih jauh. Begitu juga dengan panas tubuh tinggi dan batuk. Semua punya fungsi masing-masing.
     Jadi, bukan batuk atau pileknya yang semestinya segera dihilangkan, tapi gimana caranya menjaga daya tahan tubuh tetap fit. Proses ini yang membutuhkan waktu yang lebih lama. Itu pengetahuanku seputar kesehatan sebagai alasan untuk selalu berusaha berpikir positif ketika sakit dan tidak terburu-buru untuk mengkonsumsi yang instan.
3     3. Tetap menyerahkan semuanya kembali pada Allah. Memang aku berusaha dan optimis untuk sembuh, tapi soal kapan sembuhnya, itu terserah Allah. Kalau masih tetap sakit, yakin saja, pasti ada pelajaran di balik sakit ini. Sakit adalah kesempatan bagi badan untuk beristirahat. Badan yang sering kali kita paksa untuk bekerja melebihi kemampuannya. Lebih jauh lagi, sakit adalah momen  yang tepat untuk melakukan perenungan yang hampir tidak pernah dilakukan selama kita sehat. Serasa Allah berkata, “Lihat dirimu, Rizka. Apa yang kamu bisa dapatkan dari kejadian berupa sakit ini ?” Soal skripsi yang terhambat, tidak perlu dibuat sulit. Alhamdulillah, aku masih bisa mengerjakan tugas akhir itu walaupun progresnya lambat. InsyaAllah, lulus semester ini !

Kurasa aku sudah cukup kenyang memakan “buah” pelajaran dari “pohon” sakit. Setelah kenyang, aku harus minum air “kesimpulan” sebagai penutup. Jadi, sakit bukanlah sebuah malapetaka karena ada pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari itu, kalau kita memang berusaha mengambil pelajaran.
Semoga kita termasuk orang yang pandai mengambil pelajaran yaaa : )


Jumat, 05 September 2014

Hikmah dalam Hantaman, Pelajaran dalam Intimidasi



Tau rasanya dihantam pakai batu bata ? sakit kan…
Anggap saja intimidasi adalah hantaman batu bata itu. Suatu saat, ada orang yang berniat baik memberikan motivasi, tapi sayangnya dia memotivasiku dengan cara yang kurang tepat. Mungkin dia yang tidak terlalu mengenalku atau bisa jadi memang tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, jadi merasa biasa saja ketika memotivasi dengan cara yang menurutku mengintimidasi.

Ketika mengingat perkataan yang diklaimnya sebagai motivasi, sejujurnya aku setuju dengan apa yang dikatakannya, tapi di sisi lain rasanya… sengit tenan, dongkol, males ngadepin dia. Intimidasi tetap lah intimidasi, menyakitkan, seperti dihantam batu bata, jauh lebih sakit dibandingkan dihantam kapas dengan berat dan kekuatan yang sama dengan hantaman batu bata. Hantaman itu membuatku lemah, enggan berhadapan dengan sumber hantaman itu.

Aku pun berpikir, rasanya ada yang salah. Semestinya aku harus lebih kuat.
Kontemplasi singkat.. Ternyata Allah memberiku petunjuk. Aku mendapatkan pelajaran:
1    1. Dalam hidup ini pasti ada orang yang zholim, tidak ada manusia yang Maha adil. Pasti ada orang yang berkata-kata tanpa memikirkan kondisi lawan bicaranya, tidak empati, semaunya saja menggunakan mulut.
2   2. Yang jadi persoalan adalah bagaimana caranya aku bisa menangkis hantaman, bukan menjauhi sumber hantaman karena hantaman pasti selalu ada. Menjadikan hati lebih kuat menghadapi orang yang berbicara semaunya, sementara kebiasaan bicara semaunya sulit dihilangkan dari diri orang lain dan itu sulit dijauhi.
3   3. Solusi utama adalah minta pada Allah untuk menguatkan hati. Hati yang kuat membuat kita mampu menangkis hantaman, dibantu dengan pengalaman empiris. Hati yang kuat juga membuat diri mampu berpikir jernih, sehingga bisa mengambil hal positif dari sebuah intimidasi. Perilaku pun juga membaik akhirnya.

Lain kali, ketika hantaman serupa datang, aku akan menghadapinya dengan tenang dan berpikir positif, insya Allah. Motivasi dalam intimidasi akan aku ambil, walaupun intimidasi akan aku lupakan.

Kalau ada yang menghantam dengan mengatakan “keluar dari zona nyamanmu !”. Aku akan menanggapi, “Ya, aku akan melakukannya, tapi sekarang bukan waktu yang tepat.” Masih ada hantaman lain yang lebih penting untuk diurus. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan seperti  kesibukan dan kesiapan hati. Akan berbahaya kalau aku memaksakan diri untuk keluar dari zona nyaman sementara ada tugas lain yang lebih penting untuk diselesaikan dan hati belum siap. Aku yang lebih mengenal diriku, Allah yang paling mengenal diriku. Aku yang lebih tahu dan berhak mengatur diriku tentang kapan aku akan keluar dari zona nyaman, dibandingkan manusia lain.

Memang, manusia bukan yang Maha adil, pasti pernah berbuat zholim.

Semoga Allah mengampuni yang berbuat zholim dan akhirnya kita semua bisa mengambil pelajaran dari kesalahan yang telah diperbuat.


Senin, 25 Agustus 2014

Memimpin diri dulu

Lihat ke sana ke mari, tapi lupa lihat diri sendiri.

Bagaimana keadaan diri yang tak peduli dengan diri sendiri ?

Bisakah ? 
Seseorang membantu orang lain mengendalikan diri, sementara mengendalikan dirinya sendiri saja tidak bisa ? 
Menolong orang lain dengan baik, sementara menolong diri sendiri saja masih sulit ?
Mendidik orang lain dengan benar, sementara mendidik diri sendiri sana belum mampu ?
Memimpin beberapa orang dengan benar, sementara memimpin diri sendiri saja masih kacau ?

Kalau belum peduli dengan diri sendiri yang lebih dekat dari sejauh mata memandang, telinga mendengar, ataupun kulit merasa, coba mulai perhatikan diri sendiri. Di dalam diri, terdapat hati. Hati yang memimpin, itulah diri yang berhasil ! Keberhasilan memimpin diri akan mengantarkan pada keberhasilan memimpin lainnya, di samping mempelajari ilmu-ilmu kepemimpinan.

Selamat mencoba !

Minggu, 17 Agustus 2014

Memimpin diri sendiri: Antara raja dan tentara dalam kerajaan tubuh manusia


Teringat pada pernyataan Imam Abu Hamid Al Ghozali dalam Buku “Keajaiban Hati”. Tubuh manusia ibarat kerajaan. Hati (qalb) sebagai raja yang memimpin, akal sebagai perdana menteri, syahwat (sepertinya juga mencakup hawa nafsu) sebagai tentara. Ada pula anggota tubuh, indera, segala daya yang dipunyai manusia. Tiap-tiap komponen memiliki peran masing-masing. Jika ada satu saja yang membelot dari perannya, kehancuran pada kerajaan bisa terjadi.

Ada satu yang berpotensi untuk membelot dan mengacaukan sistem kerajaan tubuh, yaitu hawa nafsu. Dia haus akan kekuasaan. Kekuatannya sebagai tentara tidak dianggap remeh. Ketika berkuasa, semua tentara yang lain dan warga kerajaan dipaksa tunduk padanya. Hawa nafsu yang memimpin membuat manusia marah karena hal sepele, dendam ketika disakiti orang lain, atau haus akan jabatan agar dirinya berkuasa atas orang lain. Itu contoh-contoh perilaku orang yang dalam hatinya ada penyakit. Kacau bukan ? Itu sebabnya hati lah yang punya otoritas memimpin karena ia tempat cahaya Allah bersemayam. Hati yang sehat bagaikan representasi Allah dalam kerajaan tubuh manusia. Beda sekali dengan hawa nafsu yang bisa mengacaukan. Meskipun begitu, peran hawa nafsu sangat dibutuhkan.

Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya kerajaan tanpa tentara ? Musuh yang datang menyerang akan membuat kerajaan hancur. Kerajaan tubuh tanpa hawa nafsu membuat manusia hidup tanpa dorongan, motivasi, tidak punya keinginan apapun, tidak marah ketika kebenaran dilecehkan, tidak semangat ketika ada kesempatan emas datang. Hidup rasanya datar-datar saja. Ingat, ini kerajaan tubuh manusia, bukan malaikat !

Hawa nafsu pun bisa menjadi tentara tangguh yang melindungi dan mendorong kerajaan tubuh agar tetap maju. Ia pun juga bisa berpotensi untuk mengacaukan kerajaan.

Kapan hawa nafsu bisa jadi tentara yang baik atau pengacau kerajaan ?
Lihat lagi, dia menjadi tentara bagi siapa ? Pada hati tempat cahaya Allah masuk, atau pada syaithan yang jelas-jelas tugasnya mengganggu manusia ?

Tentu saja hawa nafsu harus tunduk pada hati. Hati sebagai raja dan hawa nafsu sebagai tentara. Dijamin, kerajaan damai dan aman. Ini terjadi ketika raja sedang kuat. Ketika melihat hawa nafsu berusaha melakukan kudeta terhadap raja dengan kepentingan buruk, dia akan dengan tegas berkata, “Hei kamu, Diam ! Aku raja, kamu tentara. Jadi kamu yang harus patuh padaku. Lakukan tugasmu sebagai tentara.”  Hawa nafsu pun akan kembali taat, “Ya Tuan, maafkan aku. Aku akan kembali bertugas.”

Berbeda halnya ketika raja sedang melemah dan hawa nafsu berkuasa. Dia membawa kepentingan syaithan yang tidak sesuai fitrah manusia, jelas-jelas menyimpang dari visi misi awal kerajaan tubuh, yaitu beribadah pada Allah. Kerajaan akan terus kacau selama raja masih lemah karena dia belum bisa bertugas. Maksiat akan terus dilakukan. Raja juga bisa tertidur atau bahkan mati (hati yang dikunci mati karena saking bebalnya, menolak hidayah Allah). Sayangnya tidak banyak manusia yang menyadari bahwa raja di dalam dirinya sedang tertidur.


Raja yang tertidur masih bisa bangun. Seberapa lama ia tidur bergantung pada kualitas manusia itu sendiri. Ketika raja terbangun, ia akan langsung mengambil alih kerajaan dari hawa nafsu yang mengacau. Manusia yang bermaksiat pun akan menyesal, beristighfar, melakukan muhasabah. Inilah manusia yang hatinya memimpin kerajaan tubuh. Dia berhasil memimpin dirinya !

Sabtu, 28 Juni 2014

Fokus Riz.. Fokus !

Marhaban Ya Ramadhan !

Semoga kita bisa mengisi Ramadhan ini untuk memperbaiki diri, kawan.. Ambil hikmah semua kejadian yang menimpa. Nah, kali ini aku mau cerita kejadian yang ‘ajib di malam pertama Ramadhan. Kenapa sampai aku bilang ‘ajib alias menakjubkan ? Simak cerita berikut..

Sudah dengar pengumuman bahwa besok adalah 1 Ramadhan, berarti malem ini sudah mulai sholat tarawih. Aku sengaja sholat di MUI. Seperti biasa, di awal Ramadhan masjid masih penuh. Masih semangat-semangatnya nih (harapannya tiap orang punya semangat yang konsisten untuk seterusnya). Saking semangatnya, anak-anak juga ikut orang tuanya ke masjid.

Mereka bertaburan di masjid. Posisiku aja berdekatan dengan mereka. Di depan ada seorang ibu dengan 2 anak perempuan yang banyak geraknya, di sebelah kiri juga ada ibu dengan satu anak perempuan dan satu anak laki-laki.

Kejadian yang ‘ajib ini dimulai ketika sholat ‘isya. Pengennya kalau sholat bisa khusyu’, tapi ternyata Allah mengujiku dengan terlihatnya setitik cairan coklat tua di tempat sholatku. Perhatianku sempat teralihkan, konsentrasi saat sholat buyar, tapi aku tetap berusaha mengembalikan perhatianku pada-Nya. Cairan itu aku lupakan, lalu ternyata stimulus serupa muncul melalui indera lain. Kali ini bukan lewat mata, namun lewat hidung. Pas sujud, aku mencium aroma permen kopi. Hummmm. Harumnya. Untungnya ini ga terlalu mengganggu. Lebih baik daripada sujud di alas yang bau apek.

Selesai sholat, aku baru bisa menghilangkan pemandangan yang mengganggu itu. Minta tisu pada ibu di sebelahku, lalu aku bersihkan. Ibu itu juga bilang, “Ngilangin permen kopi ya ?”

Aku jawab “Ya”

“Di tempat lain juga banyak tuh. Tadi ada anak-anak main, mungkin permennya jatuh.”

Baiklah. Jadi ini ulah anak-anak. Kumaklumi.

Sholat berjalan normal, ga ada masalah sampai sholat witir. Kejadian ‘ajib muncul lagi saat sholat witir. Dua anak perempuan di depanku mulai berulah. Lari-lari memotong shof sholat, termasuk punyaku. Salah satu dari mereka narik-narik mukena ibu-nya, terus dibawa muter mengelilingi beliau. Sempet kejar-kejaran sambil muterin ibunya. Parahnya, salah satu anak itu ga sengaja menginjak susu kotak yang ada di dekat ibunya.

“Craaat,” andaikan telingaku bisa mendengar pemandangan itu, suaranya air susu yang muncrat mungkin akan seperti itu. Dengan cepat air itu membasahi tas mukena milik orang lain yang sholat di sebelahku.
Sudah deh. Konsentrasiku buyar. Buktinya, aku masih ingat kejadian itu dan bisa menggambarkan dengan jelas melalui tulisan ini. Apalagi aku risih lihat air tumpah. Kalau ada air tumpah di kamar, biasanya langsung aku lap. Sayangnya, aku ga bisa melakukan itu karena sedang sholat.

“Riz.. fokus Riz. Balik ke sholat. Ayo, berusaha khusyu’”

Ah.. itu pasti si hati sudah mulai mengingatkan. Tapi rasanya susah sekali bagi si akal untuk memusatkan perhatian kembali pada aktivitas sholat. Pemandangan barusan benar-benar membekas, apalagi mereka masih melanjutkan aktivitas mereka.

Wajar sih, masa anak-anak memang lagi banyak gerak. Inget mata kuliah psikologi perkembangan. Tahap early childhood itu anak sedang mengembangkan gross motor skill, atau keterampilan motorik kasar. Wajar saja mereka banyak berlari. Aku maklum dengan itu. Di sisi lain, aku lihat ibu dengan dua anak di sebelahku. Salah satu anaknya sholat dengan cukup tertib. Ga buat masalah. Aku ga tau apa persisnya yang membuat perbedaan perilaku anak. Bisa karena cara orang tua mendidik anak, lingkungan di rumah, atau dari karakter anak itu sendiri.

Dari kejadian ‘ajib itu, aku bisa mengambil dua hikmah:
1.     1. Ini beneran ujian dari Allah. Dia menguji kekhusyu’an sholatku. Lain kali, aku harus tetap mempertahankan kekhusyu’an sholat dengan memilah dan memilih stimulus dari luar, mana yang perlu diperhatikan, mana yang harus diabaikan. Yang perlu diperhatikan contohnya seperti Rasulullah Sallahu ‘alahi Wassalaam yang memperlama sujud ketika cucu beliau duduk di punggung. Kalau dianggap ga penting, bisa saja beliau bangkit dari sujud sementara cucunya jatuh. Sementara stimulus yang seharusnya diabaikan adalah kejadian yang aku alami sebelumnya. Serius, kalau dipikir-pikir ga penting banget memikirkan susu tumpah saat sholat. Kejadian itu bisa diatasi setelah sholat selesai.
2.     2. Hikmah lain adalah gimana caranya bisa mendidik anak untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Aku tau, anak kecil butuh banyak gerak untuk mengembangkan gross motor skill, tapi ada waktu dan tempatnya untuk melakukan banyak gerakan itu. Setting masjid dan sholat jama’ah tarawih bukan tempat yang tepat untuk banyak bergerak. Jadi, ajari anak dengan sabar untuk jangan lari-lari di masjid terutama ketika orang-orang lain sedang sholat. Kalau mau lari-lari, nanti di luar masjid setelah sholat jama’ah sudah selesai. Tentu proses mendidik seperti ini, mengajari anak menempatkan sesuatu pada tempatnya, bukan proses yang instan. Orang tua harus sabar yang jelas. Sabar dalam arti bukan pasrah, terserah mau ngapain, tapi berusaha dengan pantang menyerah tanpa perlu marah-marah dalam menasihati anak dan optimis akan ada perubahan yang lebih baik.


Begitulah Allah mengajariku melalui dua kejadian ‘ajib malam ini. Semoga kawan-kawan pembaca juga bisa mendapatkan hikmah setelah membacanya : )

Senin, 19 Mei 2014

Jangan sombong

“Selamat  yaa.. Lo juara 1 di kelas ini.”

“Ya nih. Dah pinter pelajaran, pinter buat puisi pula. Kreatif !”

Aku baca komentar temen-temenku di Facebook. Langsung saja, saat itu juga… jantungku berdetak kencang. Mulutku menyunggingkan senyum. Dalam pikiranku, aku berkata, “Diriku memang hebat. Aku bangga dengan semua kemampuanku !”

“Eittts. Jangan lebay dulu. Jangan bangga berlebihan.”

Itu suara yang sudah sangat aku kenal. Suara yang tidak pernah terdengar telinga, tapi sangat jelas. Ini bukan halusinasi ataupun ilusi. Suara itu memang nyata. Aku dengarkan perkataan dia, hati.

“Ingat ingat ingat. Semua yang kamu punya itu, berasal dari Allah. Seharusnya kamu bersyukur.”
Aku diam, mendengarkan kata hatiku. Belum mengerti, pikiranku bertanya, “Aku belum paham. Logikanya terlalu lompat. Apa maksudmu, hati ?”

“Lupakah dirimu ? Allah Maha Mengetahui, Dia yang punya semua ilmu. Lihat saja karya-Nya yang sehari-hari kamu baca, Al-qur’an. Indah bukan ? Dia jauh lebih kreatif dari dirimu ! Kamu hanya diberikan sebagian kecil ilmu-Nya dan sifat kreatif-Nya. Hasilnya, kamu jadi juara satu di kelas dan pandai membuat puisi. Bersyukurlah… Dia mengizinkan kamu untuk menerima sebagian kecil sifatnya.”

Kini, aku paham. Tidak ada alasan untuk menyombongkan diri. Sekeras-kerasnya aku belajar, serajin-rajinnya aku menulis puisi hingga aku pandai, izin-Nya tetap berlaku. Keadaanku seperti inilah juga berkat kehendak-Nya.  Ilmu itu cahaya Allah, bukan sekedar hasil pemikiranku sebagai manusia yang miskin ilmu.


Terima kasih hati, sudah mengingatkanku : )