Senin, 24 Oktober 2011

Aku di Sini Mempelajari Psikologi, untuk Negeri yang Kusayangi

Sudah lama aku ga nulis. Maklum, semakin naik tingkat semakin sibuk (harusnya itu bukan jadi alasan untuk ga nulis.) :p

Kali ini, aku mau cerita ringan tentang hal akademis. Ya, aku sebagai mahasiswi psikologi. Sebelum nulis lebih jauh... bahas dulu apa sebenarnya psikologi itu ? Psikologi kalau dilihat secara etimologis (arti kata), artinya adalah ilmu tentang jiwa. Itu yang aku tau sebelum mempelajari psikologi. Tapi, setelah masuk sebagai orang yang mempelajari ilmu itu, aku punya persepsi lain tentang definisi itu. Salah satu dosenku bilang kalau psikologi itu adalah ilmu tentang tingkah laku. Nyadar juga. Kalau baca program studi di universitas, psikologi itu termasuk fakultas "Social and Behavioral Science."

Sempat heran, kenapa kok tentang tingkah laku ? Bukan tentang jiwa itu sendiri ? Bayangkan saja. Jiwa itu seperti apa. Tidak bisa dilihat, dipegang, diperlakukan secara fisik. Sedangkan tingkah laku bisa diamati. Tingkah laku, seperti bagaimana seseorang tidur, berbicara, makan, belajar, dan apa saja yang dilakukan manusia, selalu bisa diamati. Makanya, tingkah laku dijadikan pembahasan. Kalau jiwa dijadikan pembahasan pokok, psikologi nggak jadi sains. Yang namanya sains itu, haurs dibuktikan melalui metode ilmiah (dari mengangkat permasalahan sampai pada kesimpulan). Yang namanya metode ilmiah itu harus objektif, empiris, & publik (Graveter & Forzano, 2009)

Cukup tentang apa itu psikologi. Sekarang, cabang-cabangnya. Dulu, aku berpikiran kalau psikologi itu cuma berkaitan dengan rumah sakit jiwa, psikolog, & HRD. Ternyata, anggapan itu salah. Psikologi membahas berbagai macam hal. Jangan heran ternyata ada lho.. psikologi militer, olahraga, politik ^ ^. Di kampusku, ada 5 peminatan: klinis, perkembangan, industri organisasi, sosial, & pendidikan.

Kalau ngomongin psikologi klinis, bayangin aja psikolog, konseling, rumah sakit jiwa, abnormalitas pada mental. Psikologi perkembangan, sesuai dengan namanya, mempelajari perkembangan manusia dari keluarnya telur dari indung telur ibu, sampai orang yang dilahirkan itu pada akhirnya mati. Tapi, peminatan itu lebih menekankan pada perkembangan anak (boleh tanya kenapa kl pengen tau). Psikologi Industri Organisasi... jujur, aku ga minat sama ini walaupun cari kerjanya gampang. Itu membahas psikologi dalam konteks industri & organisasi. Bayangkan saja, HRD perusahaan. Kalau psikologi sosial, cakupannya luas banget. Itu beda sama sosiologi. Sosiologi membahas masyarakat, psikologi sosial membahas pengalaman & perilaku individu dalam konteks sosial (Sherif & Muzler, 1956 dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Yang bakal dibahas di bidang ini contohnya interaksi sosial & persepsi sosial. Yang terakhir (kesukaanku): psikologi pendidikan. Bayangkan saja, menteri pendidikan, peneliti, penyusun kurikulum. Aku lebih condong sama bidang ini nih.

Psikologi pendidikan, salah satu pilihanku. Kenapa ? Alasannya mungkin sepele. Aku pernah bantuin adikku ngerjain PRnya. Dia masih kelas 1 SD, tapi soal yang harus dikerjakan itu seperti ini. Sebutkan makanan yang mengandung karbohidrat. arghhh. Aku ga trima ! Pemikiran anak seumuran dia belum sampai ke tahap yang abstrak. Menurut teori Jean Piaget, anak umur 6 tahun belum bisa mikir hal abstrak, bisanya yang konkret. Ga cuma itu. Nyadar ga sih, kita tuh belajar banyak banget mata pelajaran pas kita masih sekolah. Ga peduli bakat & minat, semua anak harus belajar matematika, bahasa indonesia, fisika, biologi, sosiologi, kimia, sejarah (kl ini perlu sih menurutku). Semuanya dipelajari sampai mendalam. Trus, pas mulai kuliah ga semuanya dipake. Apa maksudnya ? Kenapa kita harus belajar semua itu ?

Itu beberapa alasan aku tertarik sama psikologi pendidikan. Menurutku, sistem pendidikan di Indonesia itu hancur. Idealnya, anak mempelajari sesuatu sesuai dengan tahap perkembangannya yg ga terlalu susah, gampang, bikin stres, atau membosankan (Bredekamp, 2011 dalam Santrock, 2011). Mungkin, gara-gara anak kecil dibiasakan mempelajari yang susah-susah walaupun ga suka sama pelajaran itu, anak-anak berorientasi sama nilai. Pantes, di sekolahku aja UN banyak yang beli jawaban. Memalukan !

Aku terlalu banyak ngomong nih. Percuma kalau ga ada realisasi. Kalau tetap sama pendirianku, aku pengen konsisten sama minatku. Aku pengen sistem pendidikan Indonesia jadi lebih baik. Kalau pendidikan baik, orang yang dididik bisa sukses di bidang masing-masing tanpa paksaan. Mungkin itu terdengar gombal karena cita-cita itu sangatlah besar. Tapi, sekarang aku masih hidup, berarti aku masih punya tugas & kesempatan. Mungkin itu salah satu tugasku. Do'akan aku yaa :)


Jumat, 26 Agustus 2011

Sekarang atau nanti ya ? Sekaraaang !

Universitas Bhineka Tunggal Ika, sebuah universitas yang plural. Fakultas-fakultas di dalamnya mempunyai civitas dengan karakteristik masing-masing secara umum.

Ada fakultas "Empat Sehat Lima Sempurna" yang dominasinya adalah orang-orang yang bersih karena mereka berprinsip bahwa kebersian adalah sebagian dari iman. Ada fakultas "ABC" dengan prinsip humanisme mereka kental dan mencintai karya-karya manusia. Fakultas "123" yang berisi orang-orang beriman dan berilmu. Ada pula fakultas “Merah ngejreng” yang berusaha menegakkan keadilan.

Yang satu ini, fakultas Mudamudabir, fakultas yang diam-diam sekuler. Tidak banyak orang yang tau bahwa fakultas itu sekuler. Sebagian orang merasa bahagia dengan lingkungan itu karena mereka bisa cenderung bebas untuk berhura-hura.

Sedang sebagian lain merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut karena kadang ruhiyah tidak terfasilitasi dengan baik.

Ada pula yang tidak nyaman secara ruhiyah, namun tetap bersyukur. Ya, bersyukur karena dapat merasakan lingkungan yang menggoncang iman dan menghentak pikiran, namun juga ada kawan-kawan sebagai penopangnya bagaikan jangkar yang membuat kapal tenang di tengah gelombang besar.

Seperti halnya kisah Trini dalam cerita ini. Semoga menginspirasi...

Di sebuah kelas, duduklah 20 siswa yang sedang asik berdiskusi dengan dosen yang sudah ahli. Maklum, lulusan University of Tokyo.

Dialah Mr. Hwanatabe, dosen baru di fakultas Mudamudabir yang berasal dari Jepang. Meski logat Jepangnya masih kental, dia dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Bahkan, Gaya bicaranya memukau hingga orang-orang yang mendengarnya tidak ingin mengalihkan perhatian.

Dia bicara, semua mendengarkan. Ke mana dia berjalan, kedua mata orang yang melihat mengikutinya.

Ilmu yang diajarkannya juga banyak diminati orang dan termasuk langka, memang beruntung 20 orang yang bisa masuk di kelas itu. Rasanya sayang jika diskusi mereka dipotong.

Kebanyakan mahasiswa berpkiran seperti itu, tapi tidak semuanya. Trini, salah satu pendengar baik di kelasnya, berpikiran bahwa dia memang keren, tapi tentu diskusi ini tidak akan berlangsung hingga sehari,

harus ada yang rela interupsi karena sebentar lagi Jum'atan bagi muslim.

Diskusi makin asik. Ada 1 orang yang bertanya, Mr. Hwanatabe menjawab. Lalu disusul dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

Trini hanya berbicara dalam hati, "Parah... bentar lagi Jum'atan, tapi belum ada yang siap-siap."

Waktu untuk Jum'atan sudah hampir tiba. Masih belum ada yang interupsi atau mempersilakan untuk Jum'atan. Semua tampak tidak peduli ! Padahal waktu itu pendek.

Walau Trini bukan orang yang wajib untuk ikut Jum'atan, tetap saja dia khawatir.

Bahkan perasaan khawatir Trini makin tinggi. Matanya sering tertuju pada jam tangan Lyly, teman sebelahnya. Pikirannya semakin tidak fokus pada diskusi kelas.

Makin dekat jarum panjang ke angka 12, makin khawatir dia karena belum ada tanda dari teman-temannya yang bakal Jum'atan.

Rasa syukur sedikit demi sedikit mulai muncul. Trini melihat Wawan & Rudi, dua orang yang duduk di depannya, saling berbicara. Tampak dari wajah Wawan yang was was, sambil meminta tolong Rudi untuk interupsi krn saat itu sudah mendekati waktu Jum'atan.

Sayangnya, permintaan Wawan tidak dilaksanakan: Rudi tidak langsung interupsi karena dia ragu.

Trini hanya berbicara dalam pikirannya, "Andai aku berani, aku bakal interupsi walau aku sebagai wanita tidak berkewajiban untuk mengikuti ritual ibadah itu. Tapi, sayangnya aku tidak berani."

Jarum panjang semakin mendekati angka 12. Wawan makin terlihat khawatir, namun masih ragu untuk interupsi.

Tiba-tiba, sebuah kejadian yang tidak diprediksi sebelumnya terjadi.

Dodon, seorang teman yang duduk di dekat dinding, langsung berdiri.

Tanpa berucap, dia membawa tasnya dan berjalan ke luar pintu.

Dodon diikuti oleh semua mahasiswa muslim yang wajib dan akan Jum'atan.

Wawan dan Rudi terlihat senang.

Wawan berjalan sambil bergumam, "Makasih Don, lo dah wakilin Rudi buat nglakuin permintaan gue."

Trini yang melihat kejadian itu tentu saja senang. Keraguan kolektif dapat terpecahkan oleh satu kemantapan.

Mr. Hwanatabe berhenti sejenak sambil melihat mereka keluar lewat pintu.

Lalu dia berkata, "Bagi yg mau pergi untuk berdo'a, silakan."

Setelah mereka semua keluar, diskusi dilanjutkan kembali.

Rasa khawatir Trini tergantikan oleh rasa syukur. Dia dapat menikmati diskusi lagi hingga berakhir.

Selesai kelas..

Trini melihat Dodon, Wawan, & Rudi berkumpul di depan kelas. Mereka kira diskusi masih berlanjut setelah selesai Jum'atan.

Rudi bertanya pada Trini, "Eh, gimana tadi diskusi sama Mr. Hwanatabe ?"

"Seru banget. Sayang banget, kalian ga denger semuanya. Tapi, gue salut banget sama Dodon ! Gue sempet khawatir tadi tuh.."

Dodon," Subhanallah... Ternyata ga cuma gue yang awalnya khawatir kalo kita ga bisa Jum'atan. Masa cuma gara-gara diskusi yang seru, kita lewatin kewajiban sih."

Wawan, " Gue juga khawatir banget don, tapi ga berani interupsi."

Trini, "Ya, keliatan banget dari muka lo yang keliatan was was."

Rudi, "Oh ya Don, kok lo bisa nekad gitu sih. Ga mikir gimana jadinya kalo Mr. Hawanatabe marah gara-gara ada yang nyelonong keluar ?"

Dodon, "Gue sih berusaha pegang prinsip. Kalo panggilan sholat itu dateng, gue bakal siap-siap. Makanya tadi gue langsung pergi tanpa izin."

Trini, "Wow, Gimana kalo dosennya tersinggung ?"

Wawan, "Nyatanya ga kan ? Malah bilang 'silakan'."

Dodon, "Tersinggung ato ga, gue ga peduli. Yang penting, kita bisa Jum'atan"

Rudi, "setuju ! Ga kebayang kalo ga ada yang senekad Dodon tadi, apalagi tadi gue sama Wawan ga berani izin, cuma bisa ngedumel doank..."

Wawan, "Bisa bisa kita ga jadi Jum'atan parahnya."

Wawan melihat Mr. Hwanatabe berjalan jauh di depan mereka.

"Eh itu dia dosen kita. Jadi kan, mau ngomongin yang tadi ?"

Rudi & Dodon, "Jadiiii !"

Dodon, "Trini, kita duluan ya... Assalamu'alaikum !"

Trini," Sip.. Wa'alaikumussalam."

Tetap bersyukur karena punya teman seperti mereka, bagaikan jangkar yang membuat kapal tenang di tengah gelombang besar.

Ini salah satunya yang membuat dia tetap bertahan di fakultas Mudamudabir dengan lingkungan yang menggoncang iman dan menghentak pikiran.

Kamis, 28 Juli 2011

Yang Nyaris Terlupakan: Hukum Waris

Yang Nyaris Terlupakan: Hukum Waris



Ini kisah pengalamanku saat aku dalam perjalanan dari bandara ke Pasar Minggu. Aku duduk dalam bis yang melaju dan sebenarnya membutuhkan waktu cukup lama untuk sampai tujuan, namun tidak terasa lama karena aku duduk di sebelah seorang ibu yang umurnya sekitar 40 tahun (taksiranku).


Posisiku saat itu benar-benar membuka mataku. Aku yang sebelumnya sempat mengantuk, jadi tidak mengantuk lagi. Apa yang membuat aku sampai seperti itu ?


Berawal dari senyumanku yang mengarah ke ibu itu. Beliau membalas senyumanku dengan cerita yang panjang lebar. Perbincangan sangat asik, padahal kami tidak saling mengenal, bahkan kami lupa saling menanyakan nama. Cerita awal adalah tentang perawatan gigi, kemudian… Aku lupa, bagaimana alur perbincangan kami sampai pada “warisan keluarga.”


Ini bukan dialog asli (memoriku ga sempurna, yang ada di otak bukan jiplakan dari aslinya).


Ibu X: ”Saya punya keluarga jauh. Ada Bapak, ibu, 1 orang anak perempuan, sama anak laki-laki. Bapak itu meninggal. Masak, anak perempuannya nangis. Nangisin masalah warisan.”

Aku: “Ha ? Kenapa ?”

Ibu X: “Dia tanya, ‘bagianku sama masku rata kan?’ Dia ngomong gitu sambil nangis.”


Itu sebenarnya baru salah satu percakapan tentang warisan, ada yang lain juga, tapi aku lupa alur, tokoh, & permasalahanny bagaimana. Yang jelas, cerita-cerita tentan warisan dari ibu itu mempunyai kesan bahwa: sepertinya orang Indonesia mulai tidak peduli dengan hukum waris menurut agama Islam. Mungkin ini cara penarikan kesimpulan yang terburu-buru, itu hanya asumsiku saja.


Cuplikan dialog lain (bukan aslinya)


Aku: “Padahal, sebaiknya kan pembagian warisan itu berlaku kalau bapaknya meninggal. Anak laki-laki dapet 2 bagian, yang perempuan 1 bagian. Itu menurut hukum Islam.”

Ibu X: “Ya, di Al-Qur’an ada….”


Alhamdulillah, ibu itu mengerti. Kami punya pandangan yang sama tentang hukum waris.

Aku berpikir… Orang jaman sekarang kok tambah maruk (serakah). Harta orang tua pun yang meninggal ingin dimiliki dalam jumlah yang banyak. Tanpa pandang aturan, apalagi aturan dalam al-qur’an. Ini menandakan bahwa hukum waris akan semakin dilupakan. Memang hukum waris menurut agama Islam dapat dibilang banyak kategorinya, bahkan mungkin dianggap ribet.


Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak wanita, dan jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika anak wanita itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.Dan untuk dua orang ibu/bapak,bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan; jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya(saja) maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, pembagian tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya, (tentang orang tuamu dan anak-anakmu), kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa ayat 11)


Mungkin, orang berpikir bahwa aturan itu akan sulit diterapkan.. Tapi percayalah, Allah maha adil. Contoh… Mengapa anak laki-alki dapat 2 bagian lebih banyak daripada anak perempuan ? Itu karena laki-laki adalah pencari nafkah utama dalam keluarganya. Wajar, dia lebih dapat lebih banyak. Pemikiran seperti itu tidak ada pada otak orang-orang maruk. Ternyata, hukum waris Islam memang menjadi pertama yang dilupakan.


“Pelajarilah Faroidh* dan ajarkanlah kepada semua manusia, karena Faroidh adalah separuh dari ilmu dan akan dilupakan. Faroidhlah ilmu yang pertama kali dicabut dari ummatku.” (HR Ibnu Majah dan Ad-Daroquthni)


Sekian dari aku… Semoga bermanfaat.


*Faroidh= ilmu yang mengatur pembagian harta warisan


Sumber:

- http://media-islam.or.id/2008/02/12/download-program-faroidhhukum-waris-gratis/

- “Kedudukan hukum waris dalam islam” oleh Riana Kesuma Ayu, SH. MH. Diunduh dari

http://websiteayu.com/materi/waris1.pdf pada tanggal 26 Juli 2011

- Kajian Hukum Islam Terhadap Pembagian Harta Warisan untuk Istri yang Ikut Menangung Beban Ekonomi Keluarga" oleh Noor Azizah, SH. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/18413/1/NOOR_AZIZAH.pdf pada tanggal 28 Juli 2011