Kamis, 28 Juni 2012

BangJo !


BangJO ? Apaan tuh ? 

Itu akronim dari “Bangga jadi Jomblo”, sebuah  istilah yang merepresentasikan prinsipku selama ini, sampai waktu yang ditentukan.
Aku bangga jadi seorang jomblo walaupun ga berharap bakal jomblo seumur hidup. Berbagai alasan yang didapatkan dari pengalaman, pengetahuan, bahkan perasaan. Definisi jomblo (menurutku) adalah lawan kata dari pacaran. Pacaran sendiri definisinya ga jelas. Mnurutku: keterikatan status antara laki & perempuan yang ga punya hubungan darah. Intinya, jomblo itu “sendiri”, tapi tidak merasa sendiri karena lebih bebas dalam berelasi dengan siapapun !

Kenapa aku bangga jadi Jomblo ?

Tentu, itu karena keuntungan yang didapat. Apa aja keuntungannya ?

1.      Bisa menggali potensi diri lebih dalam, tanpa ada gangguan.
2.       Kesempatan berprestasi terbuka lebar
3.       Waktu tidak terbuang sia-sia untuk pacaran
4.       Bebas berteman dengan siapapun

Kerugian jadi Jomblo
1.       kesepian
2.       merasa kurang kasih sayang

Yah.. Hari gini masih punya masalah kayak gitu ? Jangan sampai seperti itu lah. Masalah-masalah tadi itu bisa diatasi. Soal kesepian, ingatlah bahwa kita ga pernah benar-benar sendiri. Allah selalu menemani. Kalau kurang kasih sayang, ingatlah... Sumber kasih sayang ga Cuma dari 1 orang gebetan !

 Jangan khawatir kawan, kita tetap bisa jadi jomblo TeraTas (sejahtera dan berkualitas) atau jadi JoGLo (jomblo gila tapi loyal). Loyal idealnya ya sama Allah. Logikanya, kalau dah loyal sama Allah, pasti loyal sama seseorang yang dijodohkan Allah buat kita ^ ^
Ayolah, lepaskan status jomblo kita dengan cara terhormat. Kalau mau mendapatkan itu, bersabarlah hingga tunggu waktunya, kawan : )

*Sekali lagi, ini adalah opini. Ada bantahan ? Silakan diutarakan.

Terinspirasi dari “La Tahzan for Jomblo” karya Asma Nadia dkk.

Selasa, 12 Juni 2012

Wanita Sukses


Seorang wanita karier yang sukses, sebut saja namanya Pia. Di saat dia lewat, semua orang melihat. Di saat dia berbicara, semua diam mendengarkan. Dia sangat terkenal dengan prestasi, karakter baiknya, komitmen dengan karirnya di dunia parenting psychology. Dipanggil di mana-mana sebagai pembicara, sudah berpengalaman meneliti di berbagai daerah, risetnya dipublikasikan hingga mancanegara. Saking banyaknya prestasi, orang-orang sudah lelah membaca CVnya. Semua orang yang melihatnya akan memandangnya “keren.” Aku pun juga seperti orang-orang itu: kagum melihatnya.

Suatu hari, aku sebagai panitia acara “Karir sukses, rumah tangga sukses” ditugaskan untuk mengundang Bu Pia menjadi pembicara. Asumsi kami sebagai panitia adalah Bu Pia sudah menjadi orang sukses di karirnya dan keluarganya pasti bahagia. Ya sudah lah, aku percaya saja dengan asumsi itu. Pagi ini, aku berniat mengirim sms nomor Bu Pia.

Selamat pagi Bu, saya Rizka, mahasiswi UI sekaligus panitia acara ‘Karir sukses, rumah tangga sukses.’ Saya mewakili panitia mengundang ibu sebagai pembicara. Ibu ada waktu untuk saya temui ? Saya ingin menjelaskan konsep acara lebih lanjut.

Lama... Maklum, beliau sibuk. Aku tentu tak hanya menunggu hingga membeku. Banyak pekerjaan lain yang masih perlu dikerjakan. Salah satunya adalah tugas membaca buku psikologi perkembangan. Serius, itu bidang di psikologi yang paling aku sukai. Hikmah yang aku dapatkan setelah mempelajari itu adalah: rawatlah anak dengan baik-baik. Mungkin terdengar sepele ya, tapi tidak bagi orang yang berpikir panjang karena bagaimana pengalaman anak di masa kecil akan berpengaruh pada kehidupan anak di masa depannya. Kalau orang tua merawat anak dengan baik, terutama di masa kecilnya, dia akan menjadi anak yang InsyaAllah baik di masa depannya. Sebaliknya, kalau anak dirawat dengan tidak baik di masa kecilnya, wajar kalau pas sudah tumbuh besar dia menjadi anak nakal. Masa kecil adalah masa krusial orang tua atau pengasuh sangat berperan besar.

Aku kesal dengan para orang tua, terutama ibu, yang tidak memperhatikan anaknya. Berangkat kantor pagi, pulang malam. Ketika anaknya minta peluk, ibunya menolak dengan alasan anaknya bau. Ketika ibu baru menyadari perkembangan anaknya terlambat (padahal ibu itu yang terlambat menyadari), dibawalah anak itu ke psikolog anak. Psikolog anak bukan dokter yang memberi obat untuk menyembuhkan keterlambatan suatu aspek pada anak, lalu ibu memberi obat tersebut, hingga anaknya menjadi seperti anak-anak pada umumnya. Kalau fenomena itu terjadi, semakin jayalah wanita dengan karirnya dan semakin sengsaralah para anak karena kurang kasih sayang ibu. Bukan seperti itu, bukan... Orang tua harus terlibat dalam menangani masalah pada anak. Psikolog tetaplah psikolog, bukan orang tua sewaan dari orang tua yang sebenarnya. Tugasnya adalah mencari permasalahan sebenarnya, lalu memberikan treatment yang tentunya harus dengan keterlibatan orang tua. Parahnya, ada orang tua yang ogah menjalani treatment untuk menyelesaikan masalah pada anaknya. Alasan mendasar adalah: tidak punya waktu untuk anaknya.

Memang, aku bukan pengamat langsung dari peristiwa-peristiwa mengenaskan itu. Tentu saja, aku dapatkan info itu dari para dosen. Informasi berharga sebagai pengetahuan, namun mengenaskan untuk dirasakan.

Aku harus lepas dari perjalanan pikiranku. Rasa senang menggantikan rasa kesal. SMS balasan dari Bu Pia: Pagi Rizka, oke. Saya kebetulan jam 4 sore tidak ada acara. Kamu datang ke rumah saya ya.
Tanpa basa-basi, aku balas: oke
Alhamdulillah. Kesempatan emas ! Emang rejeki nih. Sore tidak ada acara di kampus. Soal belajar bisa diundur malem.
***
Tibalah hari itu, hari wawancara dengan Bu Pia. Aku sangat bersemangat ! Walau rumah beliau jauh, rasanya hanya sedekat rumah dan halamannya. Perjalanan yang sebenarnya jauh aku habiskan dengan memikirkan berbagai pertanyaan untuk beliau, tentu saja pertanyaan seputar psikologi perkembangan dan pengasuhan anak. 

Sesampaiku di rumah beliau, jantung berdebar-debar karena grogi dan takjub melihat rumahnya yang “wah.” Otomatis, aku membayangkan pasti keluarganya bahagia dengan keadaan seperti ini. Aku berjalan menuju pintu rumah dan menekan bel.
Bel hanya mengeluarkan suara “Assalamu’alaikum” sebanyak 2 kali, setelah itu pintu langsung terbuka. Bukan sosok yang kunanti, seorang gadis remaja seumuranku yang bertanya, “Mau cari siapa mbak ?”
Kontan kujawab, “Bu Pia. Beliau ada di rumah ?”

“Ada mbak. Silakan masuk. Tunggu dulu ya, Mama lagi di kamar. Biar saya panggil.”
Oow. Rupanya itu anak Bu Pia. Cantik seperti ibunya, tapi aku membaca karakter yang janggal di dia. Kalau ditanya “apa”, aku ga bisa menjawab. Yah, aku belum tau lebih jauh soal psikologi abnormal, belum berani mengidentifikasi itu adalah sebuah abnormalitas.
Selang beberapa saat sosok yang kutunggu-tunggu datang. Bu Pia yang masih rapi dengan pakaian kerja menyapaku dengan ramah.

“Halo Rizka”

“Halo Bu. Perkenalkan, saya Rizka.”

“Ya ya, saya sudah tau namamu Rizka. Kan disebutin di sms.” Ujar beliau sambil tertawa.

Ternyata, ibu ini lucu juga. Berawal dari perkenalan itu, kami mengobrol banyak hal tanpa melupakan tujuan utamaku untuk datang ke rumah beliau, yaitu meminta beliau menjadi pembicara dan memberikan penjelasan singkat tentang TOR. 

Yang paling kuingat dari obrolan kami adalah obrolan tentang keluarganya. Aku memulai obrolan itu dengan menanyakan anaknya. Kaget juga, beliau ternyata begitu terbuka dengan orang yang baru dikenal. Pada awalnya membicarakan anaknya, berakhir pada pesan beliau untukku. Sungguh, pesan itu akan terekam di otakku sampai kapanpun.

“Rizka, kalau besok kamu punya anak, jangan tiru saya ya.. Memang, saya sudah sukses begini, tapi ada rasa sesal dalam diri saya.”

“Lho, apa yang perlu disesalkan Bu?”

“Kamu lihat anak saya kan ? Dia itu ADHD*. Saya telat menyadari kalau dia ADHD, pas dia sudah lumayan besar. Kasihan liat dia. Telat terdiagnosis, intervensi terlambat, anak makin sulit mengejar ketinggalan dalam perkembangannya. Itu gara-gara saya terlalu sibuk dengan pekerjaan.” Ucap beliau dengan raut muka sedih.

Beliau melanjutkan, “Makanya, sekarang saya berusaha tetap ketemu anak saya sesibuk apapun saya dengan pekerjaan. Alhamdulillah, kami sudah deket, beda jauh dengan dulu. Saya yakin, suatu saat dia akan mengalami kemajuan dalam meraih cita-citanya walaupun dia anak berkebutuhan khusus.”

“Oh begitu ya Bu. Aamiin, semoga saja ya, anak ibu bisa sesukses orang tuanya. Hehe”

“Aamiin. Saya do’akan kamu juga supaya sukses kuliah dan ya... Kalau sudah sukses, jangan lupakan keluarga, jangan abaikan anakmu. Yakin aja, anakmu bakal lebih maju kalau kamu bisa deket sama dia.”

“Wah, makasih banyak Bu. Saya tidak akan melupakan pesan Ibu.”

Aku pun pamit, pulang dengan pengetahuan baru dan perasaan bahagia. Asumsi awalku terpatahkan. Ya, wanita yang sukses belum tentu bisa menyukseskan anaknya. Tergantung bagaimana dia memperlakukan anaknya. Mana ada sih ibu yang pengen anaknya biasa-biasa aja. Tentu saja para ibu ingin anaknya lebih maju darinya. Aku akan terus ingat dengan kata-kata ini: “Jangan abaikan anakmu.”

***