Selasa, 27 September 2016

Ujian, Kecemasan, dan Self-Esteem


Apa yang kamu lakukan ketika melihat teman yang galau berat karena ucapan orang lain ? atau terlalu cemas ketika ujian ? Mungkin reaksimu adalah tertawa atau terbesit dalam pikiran “Cuma karena ucapan orang lain aja, langsung down gitu. Lemah banget !”
Silakan saja berpikir seperti itu, tapi setelah membaca ceritaku ini, aku berharap skala empatimu terhadap orang pencemas bisa bertambah walaupun pertambahan itu hanya 1 angka.
--
Kemarin adalah jadwal aku ujian kasus. Aku sudah mempersiapkannya dengan usaha yang keras, pontang panting, beberapa hari sebelumnya sudah kubuatkan ppt. Aku sudah optimis dan tenang di hari itu, bahkan paginya aku masih bisa jalan sehat 20 menitan. “Aku sudah berusaha keras, aku akan melakukan yang terbaik, tenang saja..” Aku sudah camkan itu.
Bersyukur pula, bapakku bilang “Jangan jadikan ujian sebagai beban. Bapak ga kecewa, apapun hasilnya.” Semakin menenangkan aku.. (Makasih ya Bapak.. :)

Overall, kondisiku masih baik-baik saja, bahkan sampai aku duduk dan mendengarkan temanku presentasi. Aku dapat giliran terakhir.

Perubahan terjadi saat memasuki sesi tanya jawab. Aku melihat temanku, dia tampak biasa saja. Aku yang tidak biasa. Jantung berdebar lebih keras, detaknya kurasakan di kepala, hingga aku pusing. Badanku sudah bergerak-gerak tanpa alasan yang jelas. Oke, ini tanda-tanda kecemasan, tapi aku tidak tau apa yang aku cemaskan saat itu. Aku semakin paham bagaimana kondisi pasien yang mengeluhkan sakit fisik tapi ketika ditanya sedang memikirkan apa jawabannya adalah “Tidak tahu”. Balik lagi ke diriku.. Aku sudah berusaha lakukan relaksasi nafas, but it doesn’t work, bahkan ketika temanku di seberang melihat perilakuku dan memintaku untuk tenang (thanks to mbak Dev). 

Gejala kecemasanku sudah semakin reda di waktu istirahat dan aku bisa shalat. Mendekati giliranku, aku masih mantap untuk persiapkan perangkat presentasi. Laptop, file, pointer, dan yakin.. Baiklah, aku mulai presentasi. Aku tau, aku grogi tapi untungnya aku tidak sampai speechless, Alhamdulillah. Yup.. bisa ngomong di depan orang untuk mempresentasikan hasil karya adalah sebuah perjuangan keras sejauh ini dan aku sudah berprogres dalam hal ini. Lagi-lagi, alhamdulillah. Bodo amat bagaimana reaksi audiens.

Grogi semakin tinggi saat sesi tanya jawab. Aku bisa menjawab semua pertanyaan dosen dan psikolog. Aku masih bisa mengklarifikasi persepsi mereka yang tidak sesuai dengan maksudku. Aku juga masih bisa menerima saran mereka dengan terbuka. Poin-poin perkataan mereka aku catat. Yang aku ingat adalah, mereka semua bilang apa kekuranganku. Penyampaian mereka juga bagus, intonasi yang halus, bahkan diselingi tawa juga. Namanya juga evaluasi ya, semua ditujukan agar karyaku lebih baik. Hanya saja, aku merasa tidak nyaman. Kepalaku pusing. Clear, aku masih cemas walaupun aku tidak tahu apa yang sebenarnya membuatku cemas.

Pernyataan penutup dari dosen sedikit menghibur, “Kalian pasti usaha pontang panting kan. Kita semua masih belajar. Saya aja juga masih belajar dari presentasi kalian”. Kurang lebih begitu lah. Aku semakin tahu bahwa evaluasi memang tujuannya baik, tapi entah kenapa aku masih merasa tidak nyaman.

Alhamdulillah, pusing reda setelah ujian selesai. Jantung juga sudah normal lagi. Kondisi emosiku saja yang masih jelek. Aku tidak puas dengan presentasiku barusan. Yang jelas, untuk sementara ini aku tidak akan menyentuh HPP karena aku sadar pikiranku masih lelah. Mau melakukan apa jadi malas. Aku jadi lebih pasif.

Waktunya untuk merenung... Beginilah kurang lebih dialog internal. Aku berusaha melakukan terapi pada diriku sendiri, mungkin humanistik, supaya aku sendiri tahu apa sih yang aku rasakan dan pikirkan hingga aku merasa tidak nyaman.
-: “Aku takut dievaluasi. Seakan-akan evaluasi itu intimidasi. Makanya aku sudah mulai cemas duluan ketika temanku ditanya-tanya.”
+: “Hei,, tenanglah. Evaluasi itu ada supaya kamu semakin baik. Tanda mereka sayang.. Mereka tidak ada maksud untuk menjatuhkanmu”
-: “Tapi mereka bilang apa saja kurangku. Tidak ada komentar positif. Aku ga tau apa yang sudah bagus dari diriku dan yang perlu dipertahankan. Seakan-akan usahaku selama ini sia-sia, padahal usahaku tidak main-main. Sedih rasanya. Ini yang membuatku malas.”
+: “Kamu berhak me-reward diri sendiri. You’re doin great.”
-: “Ga percaya. Sama saja rasanya masih down begini.”
+: “Ya sudah, memang butuh proses dan waktu untuk bangkit lagi. Coba minta feedback dari teman-teman.”

Aku pun japri dan meminta feedback mereka. Mereka semua memberikan feedback positif. Aku juga membaca tips-tips mengatasi perfeksionisme: fokus pada usaha, bukan output; pikirkan lagi apakah keadaan jadi lebih baik kalau performaku memang jauh lebih baik (tidak juga, pasti kritik selalu ada); hargai diri sendiri meskipun not doing well.. (Link artikel: https://www.psychologytoday.com/blog/the-mindful-self-express/201512/the-3-most-common-causes-insecurity-and-how-beat-them?utm_source=FacebookPost&utm_medium=FBPost&utm_campaign=FBPost)

Sayangnya, tetap saja aku masih down. Malas saja rasanya. Bahkan evidence dari teman dan artikelpun belum cukup. Pendekatan kognitif belum cukup ampuh saat ini. 

Benar kan, pertolongan Allah diperlukan agar aku bangkit lagi. Aku evaluasi diriku lagi: Hatiku belum lapang. Astaghfirullah.. Maafkan aku ya Allah, aku masih bergantung sama perkataan orang agar aku tetap teguh. Tolong aku, perbaiki diriku. 

Aku hanya bisa berpesan pada diriku,“benar kalau kamu cemas saat ujian itu, tapi apa yang kamu cemaskan itu tidak benar. Kalau ada yang bilang usahamu belum cukup. Itu BOHONG. Usahamu sudah begitu keras. Maafkan orang-orang lain ya, mereka mungkin terlalu lelah hingga fokus pada apa-apa yang kurang, sementara yang positif diabaikan. Setidaknya, berusahalah untuk menghargai jasadmu sendiri yang sudah pontang panting bekerja. You deserve to reward yourself.”
Oke, aku berjuang untuk bangkit kembali, jelas bukan proses yang instan. Hal yang perlu aku syukuri adalah aku bisa menyadari pikiran dan perasaanku sehingga aku bisa berusaha memodifikasinya hingga kondisiku bisa lebih baik lagi.
--
Sudah, cukup dengan cerita tentang ujian. Aku tidak menyesal dengan pengalaman cemasku yang berdampak signifikan pada kondisi fisikku. Pasti ada pelajarannya kan. Aku beharap semakin bisa berempati pada orang-orang pencemas, meskipun orang lain menyepelekan kecemasan mereka.
Pelajaran lain adalah aku perlu berusaha menghargai usaha dan progres orang lain sekecil apapun itu. Gawat kalau sering menyepelekan hal positif orang lain. Tanda tidak bersyukur. Bisa bisa berpotensi menimbulkan kerusakan pada orang yang kusepelekan: menurunkan self-esteem, menciutkan nyali, menurunkan semangat, putus asa, menuntut diri sendiri karena takut gagal, atau berperilaku menyimpang.

Boleh sih menuntut orang lain, tapi seimbangkan dengan apresiasi yaa :)

*Kutulis note ini tanpa berpikir panjang. Wajar ya kalau agak random. hehe

Kamis, 14 April 2016

TERLIHAT Cantik

Seorang wanita berdandan memoleskan lipstik pada bibir. Entah untuk apa.. Mungkin menutupi warna asli wajah sehingga terlihat cerah di mata orang lain.  Pujian seperti “cantik” dilontarkan padanya. Alasan simpel lainnya adalah sekedar menyenangkan diri sendiri hingga  mudah tersenyum kalau berkaca.

Sampai di ruang pertemuan dan bertemu dengan teman-teman, mereka memuji “Cantik...”
Keesokan harinya, dia lupa memoleskan lipstik karena kemrungsung dan merasa biasa saja tanpa lipstik.  Reaksi teman-teman yang melihat adalah “Kok ga pakai lagi ? Padahal cantik lho kemarin pas pakai.”

Yang ada di benaknya adalah. Apakah mereka hanya memuji wanita cantik ketika menggunakan make up, ketika wajah TERLIHAT cerah ? Berarti kalau ga pakai make up, ga cantik ? Kalau memang demikian, wanita yang ga jahat hatinya pun juga bisa mendapatkan predikat cantik karena di-make up.

Betapa beratnya dampak pandangan mata dan penilaian manusia ya. Karena itu, para wanita rela memoles sedikit zat kimiawi entah merkuri atau timbal, ke bagian tubuh yang dengannya bisa menyampaikan bahasa verbal dan non verbal. Karena penggunaan zat kimiawi itu, para wanita bisa TERLIHAT cantik, meskipun kondisi hatinya kita murung.

Dasar manusia ya. Terjebak pada apa yang terlihat oleh mata. Hanya mengapresiasi pada sesuatu yang bukan apa adanya, tapi apa yang tampak bagus. 

Padahal, pandangan mata itu hanya sekilas. Kalian akan tau apa isi hatinya nanti. Memang dia terlihat cantik, tapi senyumnya bukan dari hati. Senyumnya karena senang melihat dirinya TERLIHAT lebih cantik. Ada juga yang make-upnya tebal, untuk menyembunyikan kerutan-kerutan alami pada wajahnya. Sengaja pakai make up karena ga bangga dengan wajah aslinya. Sampai ada juga yang bergantung pada make up, “Rasanya kalau ga pakai make-up, ada yang kurang.”

Bukan bermaksud menjelek-jelekkan fungsi make-up dan orang yang menggunakannya, tapi rasanya sayang saja kalau para wanita justru lebih menghargai kecantikan hanya ketika menggunakan make-up.  

Jangan khawatir, wanita yang cantik hatinya juga akan terlihat cantik nantinya, apapun label dari orang-orang terhadap kondisi fisiknya.

Selasa, 13 Oktober 2015

Sedikit tentang Plenary Sesion IconIPsy Sabtu 10 Oktober 2015

Berikut sedikit yang bisa saya sampaikan, dari banyak ilmu yang tersalurkan dalam acara Plenary sesion International Conference of Islamic Psychology. Tulisan ini juga bukan 100% murni apa yang disampaikan, ada sedikit tambahan dari saya :)

Pembicara pertama adalah Prof Rahmatullah Khan yang menyampaikan keynote speech. Beliau menyampaikan konsep raja' & khauf (harap & takut).  Dengan raja' Allah melindungi kita dari apanyang ditakuti, dengan khauf Allah berikan apa yang diharapkan. Kedua hal tersebut perlu ada dan berfungsi secara seimbang agar well-being bisa terwujud.  Kalau terlalu takut, akan muncul distres, rasa bersalah berlebihan. Pembahasan kemudian terfokus pada konsep hope (raja') yang sering dikaitkan dengan positive psychology, sebuah aliran yang menitikberatkan kekuatan manusia. Sayangnya, aliran psikologi tersebut telah tersekularisasi hingga kering dari aspek spiritual dan agama. Padahal, Allah tempat berharap yang terbaik kan ? Tugas kitalah untuk mengembalikannya dalam memandang hope hingga tercipta spiritual well-being juga. 

Berikutnya adalah inti acara yang disampaikan oleh 1. Prof. Robert Frager, Ph.D.; 2. Prof. Dr. Malik Badri; 3. Prof. Mulyadhi Kartanegara.

Pembicara pertama membahas konsep nafs (jiwa) yang sulit dicari terjemahannya yang tepat dalam bahasa Inggris. Salah satu terjemahannya adalah "ego". Kita perlu memandang ego dalam perspektif Islam. Manusia yang baik adalah yang jiwanya mengendalikan raganya, seperti Budha yang mengendarai gajah sehingga perlu ada transformasi jiwa. Beliau menjelaskan ciri-ciri dari Nafs ammarah bisu' (paling rendah) hingga Nafs Safiyya, sebuah kondisi yang paling sulit dicapai. Semakin tinggi kualitas jiwa, semakin dekat kedudukannya dengan Allah, dan tentu saja perilakunya lebih baik.

Beralih ke pembicara kedua menyampaikan bahwa psikologi tidak bisa lepas dari epistemologi dan etika. Filsafat menjadi dasar, tiap aliran psikologi memiliki aliran filsafat masing-masing. Sayangnya, aliran psikologi yang sudah ada bersifat parsial, tdk bisa memfasilitasi manusia dalam aspek tertentu. Islam memang mengakui aspek jiwa yang hampir tidak dibahas di kajian psikologi barat, namun tidak menafikkan aspek-aspek lain dalam manusia. Bisa kita lihat Al Bakhi yang banyak berbicara tentang kognisi, emosi, perilaku: systematic desentisization, refleksi, perlunya pikiran positif saat sakit, apa yang bisa dilakukan untuk meregulasi amarah, emotional disorder. Dari pemaparan beliau, bisa dilihat ternyata ilmuwan muslim terdahulu saja sudah berbicara banyak lebar tentang proses mental, bukan saja tentang jiwa. Pembicara ketiga, sebagai ahli filsafat. Beliau banyak berbicara tentang pemikiran psikologi Barat dan Islam.

Sesi tanya jawab: 

Saya ambil poin-poin yang menarik saja ya..
- Bagaimana kita menyikapi ink-blot test sebagai  produk psikoanalisis ?
Prof Malik Badri menjawab: Islam mengakui adanya simbol-simbol yang menyiratkan suatu hal, seperti mimpi yang ada interpretasinya, namun tidak sembarangan orang boleh melakukannya. Teringat Ibn Sirin yang menulis buku tentang tafsir mimpi. Apa yang dilakukan Freud terhadap mimpi ? Beliau mengkaitkan mimpi sebagai manifestasi dorongan seksual. Ini yang jangan diterima. Jadi, teliti lagi apa yang disampaikan. Dlm hal ini, kita boleh menggunakan mimpi sbg simbol dari kondisi psikologis seseorang, tapi hati-hati dalam menginterpretasi.

- Beliau berpesan utk berangkat dari Islam, baru melihat psikologi. Jangan sebaliknya. Seperti membangun fondasi yg kokoh (Islam) hingga mengecat rumah (psikologi). Jangan anggap Islam seperti cat karena apa jadinya kalau cat luntur ?

-Prof Mulyadhi menyampaikan lagi, bahwa paradigma Islam itu komprehensif. Psikologi Islam  menekankan pentingnya aspek nafs (jiwa), namun juga tidak menafikkan aspek lain, seperti kognisi, emosi, dan perilaku. Berbeda dengan paradigma Barat dengan alirannya masing-masing, hanya menjelaskan salah satu atau beberapa aspek manusia. 

Semoga bermanfaat :)


Sabtu, 10 Oktober 2015

Jembatan: Tugas Psikolog Muslim

Kita dengan mudah mengatakan "jangan marah", "jangan sedih", "yang sabar yaa", "ga boleh su'udzhon". Itu nilai-nilai ideal dalam Islam. Namun, dalam konseling ternyata tidak semudah mengucapkan kalimat-kalimat nasihat itu.

Tugas psikolog muslim bagaikan jembatan penghubung antara nilai-nilai ideal dan kondisi real manusia. Banyak yg harus dipertimbangkan: seberapa dekat posisi psikolog dengan Allah, begitu juga klien, sudah siapkah dia mengenali penyakit-penyakit jiwanya, seberapa besar dia ingin berubah, dsb. Itu yang jadi bahan pertimbangan bagaimana klien akan diperlakukan. Terlalu cepat memaksa klien menarik ke arah nilai ideal bisa jadi menyiksa. Membiarkannya jauh dari ujung nilai ideal, atau tidak memberikan nasihat  apapun juga bisa membuatnya bingung. Perlu menempatkan segalanya di tempat yang tepat..

Ada pendekatan-pendekatan yang sepintas mungkin terlihat tidak Islami.. Seperti humanistik yg membiarkan emosi meluap-luap dgn tujuan klien mengenali apa masalah dalam dirinya melalui emosi, psikodinamika yang berusaha melihat masalah tersembunyi namun disimpan sekian lama dan tidak disadari keberadaannya, CBT yang seperti mengagung-agungkan akal, transpersonal yang terkesan merangkul semua agama tapi memfasilitasi sisi spiritualitas manusia.

Ingat, manusia di samping punya jiwa yang merindukan Allah, juga punya kognisi, emosi, bahkan perilaku yang terobservasi. Tidak ada pendekatan yg sempurna, tapi masing-masing bisa berfungsi sebagai tangga pertama bagi klien utk menaiki jembatan asal digunakan secara tepat. Bisa tepat dengan mempertimbangkan kondisi klien, apa yang dibutuhkan, bagaimana dia bisa didekati. Kalau saja dari awal psikolog sudah terburu2 menarik klien utk pergi ke ujung jembatan tempat nilai ideal, bisa2 muncul reaksi berontak, tertekan, tdk nyaman, akhirnya enggan untuk membuka diri dan masalahnya tidak selesai.

Memang berat.. Mana ada membangun jembatan bisa selesai dalam sehari ?  Membuat blueprintnya saja saya masih bingung. Ya, berat kalau hanya mengandalkan kekuatan manusia. Semoga Allah membimbing dan menjadikan psikolog muslim bagaikan jembatan yang baik: semakin mendekat ke Allah, semakin mengenal kondisi manusia.

Jumat, 09 Oktober 2015

Kenali dan Regulasikan Emosi !

-Refleksi kuliah Observasi dan Wawancara Humanistik.

Ini adalah secuplik materi kuliah dengan dosen yang cukup “Humanistik”. Saya coba pahami melalui analogi berikut. Kita mau muntah, sedang di tempat umum. Jadi harus ke kamar mandi dulu karena muntah di tempat umum adalah hal memalukan. Begitu juga dengan mengekspresikan emosi, perlu pergi ke tempat yang kondusif dulu supaya tidak dianggap aneh-aneh oleh orang lain. Dosen saya mengatakan, kita orang Indonesia dibiasakan untuk meniadakan emosi, “Ga boleh nangis, marah, dsb”. Apak akibatnya ? Kita menjadi tidak peka dengan emosi diri sendiri, sehingga tidak bisa mendeteksinya. Yang terjadi hanyalah ada gejolak dalam diri tanpa tahu apa itu. Contohnya, ada pengalaman pahit pernah disakiti oleh bapaknya. Rasanya benci, marah, ada dendam, tapi bingung harus bagaimana karena yang menyakiti adalah orang tuanya. Dia hanya memendam perasaan itu, disimpan, ditutupi, dan berusaha dilupakan karena takut. Bapak & ibunya mungkin sering mengatakan, “Marah sama orang tua itu durhaka, itu dosa”. Khawatir juga dilabel sebagai "Anak tidak berbakti pada orang tua" oleh orang-orang lain yang tahu. Dalam pikirannya, “Aku ga boleh menampakkan marah walaupun sebenernya benci sama bapak, ya sudahlah, lupakan saja.” Namun, sebenarnya di dalam hatinya yang terdalam, dia belum memaafkan. Hanya saja itu diingkari, seakan-akan tidak merasakan apapun. Suatu saat emosi itu bisa terekspresikan, seperti meledak. Yang terjadi adalah bingung, “Kok aku seperti ini ya.. Inikah diriku ?” Ini gambaran contoh seseorang yang tidak mengenal emosi dirinya. Kenal saja tidak, apalagi meregulasinya.

Aplikasinya dalam konseling.. Aliran humanistik menekankan empati dan emosi. Klien dibiarkan untuk memuntahkan emosinya karena belum tentu orang tahu apa yang tersembunyi di dalam dirinya (masih dalam level mental, belum sampai jiwa). Mungkin benci, sedih, marah, kecewa, dsb. Terkadang orang juga merasa berat menceritakan pengalamannya, saking beratnya masalah yang dihadapi sehingga bingung mulai cerita dari mana. Ada juga orang yang bersikeras dirinya baik-baik saja, pura-pura kuat, padahal dirinya rapuh. Mau menangis, teriak keras, mengumpat, semua dibiarkan sampai klien siap untuk bercerita dengan pikiran yang lebih jernih. Harapannya, klien sadar akan emosi dirinya, apa yang sedang terjadi dengan dirinya, tentu dengan bantuan psikolog. Seperti mengakui, “Oh, ternyata selama ini saya masih dendam dengan seseorang.”

Saya refleksikan lagi karena sempat berpikir, apakah pemikiran dan praktik seperti itu bisa diterima dalam perspektif Islam ? Saya kaitkan dengan materi tasawuf sejauh yang dipahami. Allah menampakkan penyakit hati tiap orang dengan cara yang berbeda-beda. Bagi orang yang bertaubat, ditampakkannya penyakit hati merupakan hal penting karena individu bisa menyadarinya dan berniat melakukan perbaikan diri agar penyakit tersebut hilang sedikit demi sedikit. Dalam konteks konseling dan psikoterapi, konsep humanistik mungkin bisa diterapkan bagi orang yang terlanjur larut dalam syahwat aau hawa nafsunya tapi ada potensi untuk bertaubat. Emosi klien sengaja dimuntahkan, biarkan dia mengekspresikan sesuka hati. Setelah emosi mereda dan klien bisa diajak berpikir, psikolog membantunya melakukan refleksi atas ekspresi emosi yang barusan ditampilkan. Caranya bisa dengan melabel emosi tersebut dan mengidentifikasi jenis penyakit hati apa yang sedang dideritanya. Harapannya adalah klien akhirnya mengenal emosi yang sedang dialami sekaligus penyakit hati yang mengendap sekian lama. Pilihan tetap ada pada klien: apakah ingin sembuh dari penyakit itu atau tetap menyimpannya. Jika ingin sembuh, proses konseling bisa menjadi titik awal untuk taubat.

Orang yang sehat jiwanya adalah yang dapat mengenali dan meregulasi emosinya, bukan mengingkari adanya emosi itu. Ketika sedang marah di tempat umum, dia sadar bahwa dirinya sedang marah. Kesadaran bahwa marah itu menguras energi dan berdampak buruk bagi dirinya, mendorongnya berusaha untuk meregulasinya, yaitu dengan tidak mengekspresikannya. Salah satu caranya bisa dengan istighfar. Terkesan simpel ya, ketika diuraikan secara rasional.. Namun, pada kenyataannya akan sangat sangat sulit untuk dipraktikkan, terutama bagi orang yang tidak menyadari emosinya.

Jika memang emosi baik positif atau negatif harus diingkari, untuk apa Allah menciptakan emosi senang, geli, kecewa, sedih, takut, marah, dan sebagainya ? Apa jadinya hidup tanpa emosi ? Emosi itu diregulasi, bukan diingkari.

Selamat mencoba ! :)

Selasa, 12 Mei 2015

Bagaikan Tuan yang Bijak

Engkau bagaikan tuan yang bijaksana,
Aku ceritakan kisahku bersamamu, tuanku, sebagai rasa kagumku terhadapmu.
Pada awalnya, sebelum aku bekerja di sini, aku diberi suatu tugas besar. Ya, tugas besar yang harus kuselesaikan selama masa pengabdianku. Sebuah tugas yang bukan tugas main-main karena ini menyangkut berlangsungnya kehidupan semua elemen di tempatku bekerja.

Tiap-tiap orang mendapatkan tugas. Luar biasa adil engkau, tuanku. Kau bagikan tugasmu dengan sangat sangat teliti. Pantas saja semua tugas itu bukan tugas main-main, pemberian tugasnya pun bukan main-main. Engkau pertimbangkan baik-baik bagaimana kondisi badanku, potensi, kekuatan, kelemahan, dengan siapa saja aku hidup, bahkan sampai modal apa saja yang akan kau berikan padaku agar aku dapat bertugas dengan baik.

Engkau janjikan padaku sebuah penghargaan ketika aku bertugas dengan baik. Baik buruknya pekerjaanku tergantung pada apa yang dicatat oleh utusanmu, yang selalu mengikutiku ke manapun aku pergi.

Pemberian tugas selesai. Akupun paham dan menerima dengan sepenuh hati tugas ini.
Ketika aku turun lapangan, lika liku tugas menghampiri, tapi ada beberapa hal yang akan tercatat dalam benakku tentang luar biasanya dirimu.

Luar biasa pemurah dirimu. Engkau pelihara diriku setiap saat, selama aku berniat untuk menjalankan tugasku secara optimal. Ketika aku butuh uang meski aku malu untuk meminta, engkau memberikan uang itu di luar dugaanku. Aku pun diberi makan dan minum ketika lapar melalui orang-orang lain yang bertugas menyediakannya. Tanpa mengabaikan kesenangan sementara, engkau perbolehkan aku untuk bersenang-senang selama aku bertugas di tempat ini. Apapun yang aku butuhkan, engkau selalu memberikan yang terbaik bagiku.

Sebenarnya sudah cukup apa yang engkau berikan kepadaku, tapi seringkali aku mengeluhkan sulitnya tugas itu. Padahal, tiap orang tidak mungkin diberikan tugas di luar kemampuannya. Sering kali terlena dengan kesenangan di lapangan kerja ini. Terlalu banyak godaan di sini yang membuatku lupa akan tugasku. Padahal, ini tugas besar yang ketika diselesaikan aku dijanjikan memperoleh sebuah penghargaan.

Merasa tertampar karena kelalaianku, aku tersadar. Engkau menegurku dengan lembut agar aku kembali bertugas walaupun aku sering tak sadar akan teguran itu. Kalaupun aku sadar, aku mudah sekali lupa. Pantas saja di awal pertemuan kita, aku diperintahkan untuk selalu menyebut namamu ketika beraktivitas, “Aku namamu, aku bergerak”, agar aku selalu ingat. Parahnya, aku bahkan sering lupa untuk mengucapkan itu. Tapi, tetap saja engkau sabar. Selalu ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki diri sebelum masa tugasku habis.


Masih banyak hal lain yang tak bisa kuungkapkan dalam catatan ini. Satu hal yang aku harapkan adalah aku bisa bekerja dengan sebaik-baiknya hingga engkau puas dan agar aku bisa kembali menghadapmu dalam keadaan senang.

Sabtu, 14 Maret 2015

Kembali ke rumah, kembali menulis

Baru nongol lagi nih setelah sekian lama ga nge-blog.

Alhamdulillah, aku kembali ke rumahku di Jogja setelah 4,5 tahun merantau di kota orang. Memang rumah Jogja ini bukan tempat kembaliku yang sebenarnya. Kita semua akan kembali pada Allah kan, badan aja bakal hancur dimakan mikroba di tanah, bener ga ?

Terus, apa yang akan aku lakukan setelah selesai masa studi di tanah rantauan ?
Setelah beberapa kali mempertimbangkan & mohon petunjuk Allah, aku tetapkan diri untuk tinggal di Jogja dalam jangka waktu yang lama, bukan seperti liburan yang hanya beberapa minggu saja. Berharap bisa lanjut kuliah di sini dan ya.. Entah ke mana lagi setelah itu. *Parah, padahal semestinya dah mulai punya proyeksi karena itu ditanyakan saat seleksi ujian masuk.

Balik lagi ke rumah Jogja, bakal ada banyak sekali hal yang membuat mata melebar, dada sesak, alis terangkat, terlinga panas, dan sebagainya. Gimana ga ? Aku hidup bersama orang-orang dari 3 generasi: eyang, bapak ibu, adek-adek. Eyang dengan karakteristik orang dari cohort 1930-an, bapak ibu sebagai orang dewasa madya, dan adek-adek yang masyaAllah bervariasi (late childhood, early adolescence, middle adolescence). Mereka punya keunikan masing-masing, value yang berbeda pula. Konflik sangat mungkin terjadi. Sebuah setting yang menurutku baru, bagi anak yang sudah biasa jauh dari rumah.

Tempat belajar hidup nih.. Belajar dalam arti luas, termasuk tetap lanjut mempelajari hal-hal yang didapatkan selama di Depok. Walaupun aku punya tampang pengangguran gini, rasanya seperti kuliah. Masih ada proyek nulis, bantu penelitian dosen, lanjut baca-baca buku psikologi Islam, dsb. Yang bikin seru adalah, gimana caranya bisa jalanin hidup sebagai manusia dengan multi peran: mbak, anak, cucu, pelajar. Pas belajar, ujug-ujug dipanggil. Lagi ngerjain tugas diminta ke dapur. Lagi nulis diajak ngobrol. Harus bisa menyesuaikan diri.

Tempat belajar lebih dari sekedar memperbaiki skill mengelola peran, tapi juga meningkatkan kematangan jiwa. Ga boleh egois, menahan nafsu yang cenderung pada hal-hal duniawi, menahan emosi negatif yang akan terekspresikan, ga boleh gampang mengeluh, dan sebagainya. Memang di sini bukan tempat yang bagus untuk pematangan jiwa, tapi ini adalah ujian.

Entah sampai kapan bisa belajar hidup di sini, yang jelas aku coba ikuti saja skenario yang dibuat oleh Pembuat Skenario Terbaik sepanjang masa.