Kamis, 24 April 2014

Buku TerBesar

Siang itu di sebuah Sekolah Menengah Atas di Kota Preintellectia, sebuah Kota yang namanya belum pernah terdengar oleh penduduk dunia ini.

Bu Nara sebagai guru mata pelajaran Sastra, memberikan tugas untuk para murid.
“Anak-anak, untuk tugas minggu depan, buat ringkasan tentang salah satu buku kesukaan kalian. Buku apapun itu, ringkasan maksimal 10 halaman... Beberapa dari kalian akan saya minta menyampaikan tugas secara lisan di kelas. Terlambat mengumpulkan, nilai kosong.”
Suasana kelas sedikit ricuh. Para murid bertanya-tanya, memikirkan buku yang akan dijadikan bahan tugas.
Tidak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi tepat pukul 14.00.
“Ada pertanyaan ?”
Suasana kelas kembali sunyi.
“Jika tidak, kita akhiri kelas ini dengan membaca do’a.”
Setelah tiap orang membaca do’a dalam hati, kelas dibubarkan. Hampir semua anak berisik,  bertanya-tanya tentang tugas yang barusan diberikan Bu Nara.
“Kamu mau pakai buku apa ?”
“Bingung.”
“Aku mau pakai novel yang baru-baru aja deh…”
Banyak sekali percakapan tentang buku dan hampir semua anak di kelas itu berbicara  hingga membuat suasana kelas gaduh. Sementara salah seorang murid, bernama Areef terdiam untuk berpikir. Di dalam pikirannya, dia sudah tahu apa yang akan ditulis. Tentu saja, tidak jauh dari apa yang dipelajarinya selama ini.
***
            Areef masih tersenyum-senyum di perjalanan menuju rumah. Melihat indahnya awan putih yang terbentang jauh di atas kepalanya, ditemani matahari yang sinarnya menyilaukan.  Pohon-pohon berdaun lebat menyejukkan pandangan tumbuh di hutan kota. Bukan saja makhluk hidup yang dilihatnya. Besi-besi pagar pun yang kokoh juga dilihatnya sepintas. Dilihatnya juga pemurahnya orang yang memberikan sedekah pada yang membutuhkan. Semuanya terlihat begitu indah di matanya. Dia berpikir dalam diamnya mulut dan terbukanya mata. Tiba-tiba…
“Reef, Kenapa senyum-senyum sendiri ?” Rio, seorang teman sekelas menegurnya.
“Mikirin buat tugas Sastra.”
“Emang, mau ringkas buku apa ?”
“Ya nanti pas dah kumpulin tugasnya, kamu bakal tau.”
“Payah... Sama temen sendiri aja ga mau cerita.”
“Bukannya ga mau, tapi aku belum siap aja. Kamu bakal bingung kalo aku cerita pas lagi ga siap gini.”
“Oke lah. Kayaknya bukumu berat. Ya udah. Aku jalan duluan.”
“Ati-ati di jalan Rio.”
***
            Sesampainya di rumah, Areef berwudhu, menenangkan jiwanya, lalu mencicil tugas Sastra. Berwudhu sebelum belajar memang sudah menjadi kebiasaannya, karena itu bisa membersihkan dan menyiapkan  jiwanya. Ini yang membuat pikirannya segar dalam belajar. Tidak mengherankan, karena jiwa yang bersih dan siap akan membuat pikiran berfungsi dengan baik ketika belajar. Dia meyakini adanya hubungan yang harmonis antara jiwa dan pikiran.
Penulisan pun dimulai… Dia tidak banyak bicara. Hanya jiwa, pikiran, dan tangan yang terlihat aktif.
“Sepertinya judul Buku terBesar bagus nih. Bismillah…”
Dimulai dengan membuat kerangka tulisan, kemudian menuliskan nilai-nilai yang ingin ditanamkan. Tak lupa juga membuka buku-buku referensi karena merasa ilmu yang dimiliki perlu dipastikan memang benar dan sesuai dengan sumber aslinya. Salah satunya adalah Al-qur’an.
Batinnya mengatakan, “Terserah reaksi orang-orang nanti seperti apa. Yang penting aku sampaikan apa yang ada di pikiran. Ini kebenaran.”
Kreativitas dalam berpikir pun turut menghiasi tulisan dalam ringkasannya. Buku yang ia ringkas bukanlah buku biasa. Ini buku raksasa. Terlihat sangat jelas, menjadi petunjuk bagi seluruh makhluk, sehingga orang yang melihatnya pun akan teringat pada Siapa Yang Menulis buku ini.
Setelah dirasa cukup, dia mengerjakan tugas-tugas lainnya.
***
H – 1 pengumpulan tugas meringkas buku
“Eh Ri, gimana tugas dari Bu Nara ? Besok kan deadline ?”
“Udah selesai. Yippi… Aku pakai novel ‘Romantika Pemuda Pemudi’ ”
“Eh itu buku baru bukan sih ? Keren banget. Aku bahkan belum mulai ngerjain.”
“Males banget perasaan. Parah !”
“Ya.. Santei lah. Aku kan cepet ngerjainnya. Hahaha”
Dialog kedua teman itu terdengar oleh Areef. Mengabaikan itu, dia menyelesaikan tugas sastra tentang Buku terBesar. Hanya melakukan sedikit editing, tugas itu sebentar lagi akan selesai.
***
Hari H pengumpulan tugas meringkas buku.
Hari itu memang sudah dialokasikan untuk penyampaian ringkasan buku oleh beberapa anak yang ditunjuk Bu Nara. Semua murid sudah mengumpulkan tugasnya, sebagian besar melakukan itu karena takut nilai untuk tugas ini kosong, seperti yang diancamkan Bu Nara minggu lalu.
Bu Nara memanggil beberapa murid saja. Tiap anak diberi waktu 10 menit untuk berbicara di depan…
Di 10 menit terakhir sebelum jam pulang sekolah, nama Areef disebut. Tanpa perlu persiapan panjang, dia langsung maju.
“Buku yang saya ringkas berjudul ‘Buku TerBesar’.”
Terdengar desas-desus murid-murid lain yang mempertanyakan buku itu.
“Pasti baru dengar kan ? Bagaimana ini kalian ? Buku ini sudah ada dari dulu. Jaman dinosaurus hidup aja sudah ada.”
Bu Nara langsung menanggapi,” Areef, bisa kah langsung  saja sampaikan apa saja yang penting tentang bukumu ?”
“Baik Bu… Buku terBesar ini adalah alam semesta. Sengaja saya menceritakan buku ini, mengingat tidak ada batasan yang jelas dari Bu Nara tentang ‘buku’ itu sendiri.”
Bu Nara menanggapi dengan anggukan mantap, “Oke Areef, lanjutkan !”
“Saya ceritakan Penulis buku ini. Dialah Allah, Tuhan Semesta alam. Dia memperkenalkan dirinya melalui penciptaan alam raya ini. Dia yang Maha Pemberi rizki, menciptakan hujan yang memberi banyak manfaat pada penduduk bumi. Itu artinya hujan mencerminkan sifat-Nya yang Maha Pemberi rizki. Dia yang Maha Kuat, menciptakan besi yang kokoh. Besi mencerminkan sifat-Nya yang Maha Kuat. Dia yang Maha Penghitung, membuat semua hal punya kadar masing-masing yang proporsional. Tiap makhluk dengan kadar yang proporsional memperlihatkan sifat yang Maha Penghitung.”
Areef yang peka dengan keadaan teman-teman sekelasnya punya inisiatif tersendiri, “Bu, saya boleh menampilkan gambar-gambar juga lewat Power Point ? Sepertinya teman-teman sudah mulai kehilangan konsentrasi.
“Ya, silakan Areef, tapi ingat waktu ya, sebentar lagi jam pulang sekolah.”
“Baik Bu” Sambil dia menyiapkan tampilan power point yang kemarin sudah dibuatnya setelah tugas meringkas buku selesai.
Semua mata di kelas tertuju pada slide power point. 
“Jadi, semua yang ada di alam raya ini adalah tanda-tanda keberadaan-Nya, kalau kita mau buka hati untuk melihat. Semua sifat-sifat-Nya, sengaja dibuat dekat dengan para makhluk oleh-Nya. Kenapa demikian ? Ini karena Dia ingin dikenal oleh makhluk-makhluk-Nya.”
Sambil menjelaskan, sambil memindahkan slide berikutnya yang menampilkan beberapa keindahan alam semesta. Mulai dari hal yang sangat besar seperti galaksi-galaksi. Sampai yang terkecil: mikrokosmos dan kompleksitas tubuh manusia.
“Sekarang saya tanya. Apa pendapat kalian setelah lihat gambar-gambar barusan ?
Semua mata yang sebelumnya melihat ke arah slide, kemudian sebagian besar mulut mengeluarkan respon positif: “Keren banget”, “Bagus banget”, “Enak buat cuci mata”, dan semacamnya.
“Hampir semua dari kalian kagum kan ? Tapi, menurut saya adalah yang konyol jika kita terkagum-kagum pada buku, tapi lupa pada penulis buku. Sama halnya ketika sangat kagum pada indahnya alam semesta tapi lupa pada Siapa Penciptanya.”
Semua terdiam mendengar kata-kata yang menampar, namun membuat pikiran tersadarkan kembali dari kesenangan visual semata.
Areef langsung melanjutkan lagi, “Ada satu lagi yang terlupa, yaitu manusia. Kita sendiri  adalah buku kecil dan bagian dari Buku Besar alam semesta. Lihat betapa rumitnya diri kita ini.” Sambil memperlihatkan slide yang menampilkan rumit dan indahnya anatomi tubuh manusia, dari individu sampai tingkat sel.
“Bahkan seorang dokter yang paling ahli pun tidak ada yang tahu secara pasti seluruh aktivitas tubuh manusia pada tingkat sel. Ini semua menunjukkan Maha Besarnya Dia. ”
Bel pulang sekolah berbunyi. Areef berhenti, lalu berbicara bermaksud untuk mengakhiri penyampaiannya. “Sebenarnya saya belum selesai, tapi karena sudah waktunya pulang,…”
“Lanjutkan saja Areef.” Bu Nara memotong perkataan Areef dengan suara yang pelan. Tanpa sepengetahuan orang-orang di dalam kelas, matanya mulai berkaca-kaca.
Dua orang murid yang duduk bersebelahan mengeluh, “Aku dah laper banget nih”. “Parahnya kelas kita belum selesai.” Namun, situasi menghiraukan mereka. Tetap berjalanlah aktivitas di kelas itu,
Areef melanjutkan, “Baik Bu, Jangan khawatir, sedikit lagi selesai. Uniknya lagi, manusia adalah citra Allah di muka bumi, manusia punya potensi untuk memiliki banyak sifat Allah. Kita bisa jadi seorang penyayang, penghitung, pemurah, penyantun, pemaaf, membuat keindahan, punya kehendak, tahu banyak hal duniawi dan hal ghoib. Masih banyak sifat manusia yang tidak bisa disebutkan satu per satu, apalagi tiap manusia punya keunikan sendiri. Sadar kah ? Itu semua sifat-sifat Allah.”
Areef sengaja mengambil jeda selama beberapa detik untuk melihat reaksi sekelas. Ada beberapa yang masih fokus melihat slide, ada yang merenung, ada yang menatap kosong karena lapar, ada yang mengangguk-angguk pelan. Satu hal yang tidak dilihat anak-anak sekelas, Bu Nara yang sudah menangis tanpa suara.
“Kondisi Buku Besar kitta sekarang sudah memprihatinkan. Semua itu karena manusia. Payah kan ? Manusia sebagai makhluk yang sempurna justru berbuat kerusakan.” Sambil menampilkan slide bencana dan kekacauan: banjir, longsor, penggundulan hutan, memakai bahan peledak, membuat obat yang sebenarnya racun bagi tubuh, pengeboman kota, dan perang.
“Ini kenyataan yang harus kita hadapi bersama-sama. Orang-orang sudah lupa dengan Penulis Buku Besar ini, dan banyak yang hanya terpesona dengan Buku ini tanpa berpikir tentang Penulisnya, yaitu Tuhan semesta alam. Sebenarnya ringkasan saya tidak cukup untuk merangkum semua isi dari Buku ini. Masih banyak yang belum saya tahu, tapi saya cukupkan penyampaian ringkasan tentang Buku terBesar ini. Sekian dan terima kasih atas perhatian kalian semua.”
***
Bu Nara terlihat menangis dan para murid baru menyadarinya. “Ini ringkasan yang ….” Sambil mengelap air mata yang mengalir di pipirnya, “Saya bingung harus bilang apa.”
Semua murid terdiam melihat Bu Nara…
“Memang kau bijak sekali nak. Tak rugi orang tuamu menamaimu Areef.”
“Terima kasih Bu.”
Bu Nara menutup kelas menandakan berakhirnya aktivitas belajar di kelas itu.
***
            Siang itu, siang yang indah. Matahari menampilkan terik sinarnya. Besi pagar sekolah yang tetap kokoh dia lewati. Batu-batu tertata di pinggiran jalan kota yang sesaat dilihatnya. Pohon bambu di halaman luar sekolah berdiri tegak dengan tetap mempertahankan warna hijaunya. Semua terlihat diam, namun semua benda hidup dan mati mendo’akan Areef. Tanpa sepenglihatannya, namun dia yakin akan hal itu. Areef akan pergi ke kursus untuk mempelajari lebih jauh tentang Buku Besar ini dan Sang Penulis yang Maha Agung. Pantas saja seluruh makhluk mendo’akannya.

Rabu, 02 April 2014

Sampainya makna pada jiwa (1)


Saat makna sudah samapai jiwa, tak ada cerita seperti ini:

Rajin sholat, tetap bermaksiat.
Sudah tau harus berbuat baik, masih saja menyakiti orang.
Mengaku paham tentang Islam, tapi tetap teguh dengan pemikiran sekuler.
Sudah tau akhirat itu ada, tapi orientasi tetap ke dunia.
Banyak pengetahuan, tapi sedikit pengamalan.
Sudah tau manusia punya perasaan, tapi perkataan kasar.
Sudah tau diri butuh sehat, tapi sengaja membuat tubuh sakit.
Sudah tau manusia punya hati nurani, tetap saja terus mengingkari.

Timpang bukan ? Sayangnya itu tetap saja ada dan nyata. Ada apa dengan jiwa para manusia ini yang tak sanggup menerima makna ?
Ketahuilah, ilmu bukan sekedar masuknya informasi ke dalam kognisi, sebanyak apapun informasi itu. Lebih jauh dari itu: masuknya makna hingga jiwa. Informasi yang banyak tetap saja kosong ketika tidak membuat maknanya sampai pada jiwa. Itu makna semu. Kesemuan yang menjadi bibit ketimpangan.
Ketahuilah, ilmu itu cahaya Allah. Nuurun ‘alannuur.
Ilmu itu membawa pada keyakinan, bukan keraguan.
Ilmu itu ketika sampainya makna pada jiwa.

Ketika makna sudah sampai jiwa, hati menerima cahaya-Nya, segenap jiwa raga akan tunduk pada hati. Jika demikian, tak mungkin ada cerita-cerita penuh ketimpangan tadi.

Jadi, apa yang salah dengan diri yang terus berada dalam ketimpangan ?

Betah untuk berada di sana selamanya ?

Selasa, 01 April 2014

Obat sakit

Sakit ?

Apa obatnya ?

Ini kata akal:
“Untuk pikiran, buat diri setenang mungkin, optimis kalau aku pasti sembuh, cari informasi penyebab sakit, dan tips penyembuhan,
Untuk fisik, istirahat yang cukup dan konsumsi obat yang cocok.
Sudah itu saja…”

Ini kata hati pada akal:
“Yakin ? Jangan lupakan jiwamu. Dia raja dalam tubuhmu, hanya saja selama ini kau lupakan.
Ini obat untuk jiwa, yaitu sabar.

Itulah kuncinya. Ketika pikiran dan fisik sudah bekerja, kau harus sabar. Sabar setelah berusaha, menanti hasil sambil berkeyakinan bahwa “aku pasti sembuh.” Ketika belum berhasil juga, tetaplah sabar. Ada area-area gelap yang tidak mungkin diketahui manusia. Dunia tidak sebatas yang terindera dan yang pikiran persepsikan, bung ! Mungkin Allah punya rencana lain untukmu. Yang jelas, jangan salahkan Allah karena sakitmu ini. Ingat: penyebab sakit tidak sebatas fisik, pertimbangkan juga aspek ghoib yang pasti terlibat.”

Islam itu rasional

Islam itu rasional kah ? Orang Barat tentu melihat Islam ga rasional, berisi ajaran2 yg ga bisa diterima akal. Ya iyalah ! Epistemologi mereka ada gitu. Mencabut unsur metafisik (ghoib) dari kehidupan sehari-hari, bahkan sampai level psikologis manusia. Kalo dalam Islam kan justru hal ghoib sangat, paling berpengaruh ke tingkah laku, dalam hal ini jiwa manusia. Lebih kerennya lagi, hati manusia itu yang jadi pusat atau raja dalam kerajaan tubuh manusia (Al Ghozali). Hati jadi raja, aql jaadi perdana menteri. Tetep kan, seorang raja butuh penasihat ? Sama juga, hati juga butuh aql, termasuk otak manusia untuk berpikir, mencerna informasi ke ruang kognisi.

Sebaliknya, Barat cuma mengakui kognisi (pikiran) tanpa hati. Kognisi jadi raja (berlaku di aliran cognitivisme). Wajar saja kalau sesuatu yang ga dianggap rasional, itu bakal ditolak. “Wah.. Isra’ mi’raj ga masuk akal, Muhammad SAW berkata bohong.” Yai tu akibatnya. Sementara kita sebagai muslim akan melihat fenomena itu sebagai yang masuk akal karena hati mengatakan demikan. Sekali hati bilang ya, akal akan bilang ya. Ini ga berlaku bagi manusia yang hatinya kotor sih.

Jadi, Islam tetaplah Islam yang rasional karena muslim melihat Islam dengan melibatkan hati sebagai raja. Buat kalian nih orang Barat, liat juga dong gimana epistemologi Islam. Jangan sembarangan liat Islam dari worldview kalian deh. Kalau maksain gitu, Islam bakal jadi ga rasional di mata kalian.  Hormati kami yang muslim dong untuk tetap meyakini Islam sebagai keyanikan yang juga meliputi epistemologi, menggunakan hati sebagai pusat dalam berpikir. Buat muslim, ayo pelajari Islam dari sumber yang benar, supaya akhirnya bisa memandang segala sesuatu, termasuk Islam sendiri, dari worldview Islam. Jangan langsung percaya sama apa yang dikatakan Barat. Dijamin ga rugi kalo kalian meyakini Islam sebagai epistemologi juga !
Semoga bermanfaat kawan….


*Epistemologi: konsep ilmu, dari mana dan bagaimana caranya ilmu di dapatkan. Dalam Islam, sumber ilmu juga meliputi Al qur’an dan Sunnah, di samping mengakui indera, akal, hati, dan informasi yang benar (khabr sadiq) sebagai saluran ilmu.