Selasa, 10 April 2012

Rela diserang Bertubi-tubi: Terjebak di dunia lain

Ini memang pengalaman pribadi, tapi semoga bisa bermanfaat bagi siapapun yang membaca.

Gila... bener-bener buat stres. Gimana ga stres ? Terjebak di dunia lain yang ga diharapkan. ..

Itulah situasiku saat ini. Aku mahasiswi Psikologi, ga minat sama politik, hukum, hal-hal dadakan, perdebatan, suasana rapat yang panas. Justru komponen-komponen pemicu stres itu seakan-akan menyerangku secara bertubi-tubi. *majas hiperbola. Wajar sekarang nih, aku gampang cemas. Dikit-dikit tanya, bilang ada masalah, ngeluh, dan hal-hal merepotkan lainnya bagi atasanku.

Mau gimana lagi ? Aku sudah terlanjur mengucapkan janji setia selama setahun untuk bekerja sebagai Deputi di Departemen yang penuh dengan hal-hal dadakan & membuatku cemas. Aku sementara ini berpikir, “Sudahlah, ini hanya satu tahun kepengurusan, ga nyampe setahun lagi aku bisa melepaskan status sebagai diplomat abal-abalan. Aku tau, ini bukan duniaku. Aku tau, aku terjebak di sini. Tenang aja, ga lama lagi, aku bisa lepas dari ini.” Yang penting, tetap pegang amanah selama dipasang label deputi, atau bahkan yang lebih parah: seorang diplomat.

Diplomat ? Yap... Itu profesi keren bagi beberapa orang dalam departemenku ini. Profesi dambaan bagi mereka, tapi ga bagiku. Ga sama sekali. Aku ga bercita-cita jadi dilpomat. Ga kebayang gimana anakku nanti kalau ibunya lebih sibuk mengurusi negara ketimbang anaknya sendiri. Perkembangan anak bisa bermasalah karena ga deket sama ibunya. Ga percaya sama ibu, terlambat bicara, perkembangan aspek sosial-emosional terhambat, hal-hal fatal lainnya yang berakar dari hal sepele (ibu lebih mementingkan karir daripada anak sendiri), bisa terjadi. Aku dengan tegas menyatakan: GA MAU ITU TERJADI. Aku lebih rela kalo anakku besarnya nanti jadi diplomat kalau itu emang minat dia. Itu jauh lebih keren daripada aku sebagai seorang ibu (nantinya, aamiin) jadi diplomat sukses tapi keluarga hancur. Hmm. Itu beda kalo jodoku nanti seorang diplomat, itu ga masalah karena dia emang tugasnya cari nafkah kan..

Itu barusan adalah paparan alasan kenapa aku ga mau jadi diplomat. Memang sudah jelas bahwa aku memang ga minat sama kerjaanku di departemen ini. Lagi-lagi, kabar dadakan, rapat dadakan, apa-apa dadakan. Serba dadakan... menyebalkan. Mencemaskan.

Cemas adalah sesuatu yang ga mengenakkan. Tapi, bukan berarti yang ga mengenakkan harus dihindarkan kan ? Yup... Aku ga mau menghindari sumber-sumber kecemasan ! Ga masalah ada serangan bertubi-tubi dari atasan: tugas dadakan, disuruh ngomong pake bahasa asing dengan tamu, buat proposal malem ini jadi, segera menghubungi pembicara, segera rapat saat ini juga. Selama aku mampu, aku akan melawan kecemasan itu. Ga masalah kok kalau orang-orang sekitarku secara sadar atau ga sadar buat aku cemas. Kalau aku menghindari kecemasan, kapan aku mau maju ?

Itulah sikapku. Kecemasan emang ga bisa dihilangkan dengan instan, bisanya orang mengatasi kecemasan itu dengan strateginya. Mungkin, di awal-awal ini strategiku adalah merepotkan orang lain sebagai tempat “curhat” tentang masalah-masalah terkait. Ketika orang yang diajak ngomong itu menenangkan, aku akan lebih tenang. Itu di awal, mungkin strategiku untuk mengatasi kecemasan di akhir kepengurusan akan beda, jauh lebih baik. Semakin sering aku berinteraksi dengan kecemasan, semakin pandai aku dalam mengatasinya. Semoga, aamiin.

Terlepas dari kecemasanku dalam bekerja, aku yakin, posisiku sekarang sebagai deputi punya dampak positif buatku atau mungkin buat orang lain untuk ke depannya. Bisa saja, kemampuan negosiasi bakal berguna ketika aku harus menasihati anak yang bandel. Keren kan... ada ibu yang “mantan diplomat” bisa pake ilmunya buat mendidik anak ^ ^