Jumat, 26 Agustus 2011

Sekarang atau nanti ya ? Sekaraaang !

Universitas Bhineka Tunggal Ika, sebuah universitas yang plural. Fakultas-fakultas di dalamnya mempunyai civitas dengan karakteristik masing-masing secara umum.

Ada fakultas "Empat Sehat Lima Sempurna" yang dominasinya adalah orang-orang yang bersih karena mereka berprinsip bahwa kebersian adalah sebagian dari iman. Ada fakultas "ABC" dengan prinsip humanisme mereka kental dan mencintai karya-karya manusia. Fakultas "123" yang berisi orang-orang beriman dan berilmu. Ada pula fakultas “Merah ngejreng” yang berusaha menegakkan keadilan.

Yang satu ini, fakultas Mudamudabir, fakultas yang diam-diam sekuler. Tidak banyak orang yang tau bahwa fakultas itu sekuler. Sebagian orang merasa bahagia dengan lingkungan itu karena mereka bisa cenderung bebas untuk berhura-hura.

Sedang sebagian lain merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut karena kadang ruhiyah tidak terfasilitasi dengan baik.

Ada pula yang tidak nyaman secara ruhiyah, namun tetap bersyukur. Ya, bersyukur karena dapat merasakan lingkungan yang menggoncang iman dan menghentak pikiran, namun juga ada kawan-kawan sebagai penopangnya bagaikan jangkar yang membuat kapal tenang di tengah gelombang besar.

Seperti halnya kisah Trini dalam cerita ini. Semoga menginspirasi...

Di sebuah kelas, duduklah 20 siswa yang sedang asik berdiskusi dengan dosen yang sudah ahli. Maklum, lulusan University of Tokyo.

Dialah Mr. Hwanatabe, dosen baru di fakultas Mudamudabir yang berasal dari Jepang. Meski logat Jepangnya masih kental, dia dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Bahkan, Gaya bicaranya memukau hingga orang-orang yang mendengarnya tidak ingin mengalihkan perhatian.

Dia bicara, semua mendengarkan. Ke mana dia berjalan, kedua mata orang yang melihat mengikutinya.

Ilmu yang diajarkannya juga banyak diminati orang dan termasuk langka, memang beruntung 20 orang yang bisa masuk di kelas itu. Rasanya sayang jika diskusi mereka dipotong.

Kebanyakan mahasiswa berpkiran seperti itu, tapi tidak semuanya. Trini, salah satu pendengar baik di kelasnya, berpikiran bahwa dia memang keren, tapi tentu diskusi ini tidak akan berlangsung hingga sehari,

harus ada yang rela interupsi karena sebentar lagi Jum'atan bagi muslim.

Diskusi makin asik. Ada 1 orang yang bertanya, Mr. Hwanatabe menjawab. Lalu disusul dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

Trini hanya berbicara dalam hati, "Parah... bentar lagi Jum'atan, tapi belum ada yang siap-siap."

Waktu untuk Jum'atan sudah hampir tiba. Masih belum ada yang interupsi atau mempersilakan untuk Jum'atan. Semua tampak tidak peduli ! Padahal waktu itu pendek.

Walau Trini bukan orang yang wajib untuk ikut Jum'atan, tetap saja dia khawatir.

Bahkan perasaan khawatir Trini makin tinggi. Matanya sering tertuju pada jam tangan Lyly, teman sebelahnya. Pikirannya semakin tidak fokus pada diskusi kelas.

Makin dekat jarum panjang ke angka 12, makin khawatir dia karena belum ada tanda dari teman-temannya yang bakal Jum'atan.

Rasa syukur sedikit demi sedikit mulai muncul. Trini melihat Wawan & Rudi, dua orang yang duduk di depannya, saling berbicara. Tampak dari wajah Wawan yang was was, sambil meminta tolong Rudi untuk interupsi krn saat itu sudah mendekati waktu Jum'atan.

Sayangnya, permintaan Wawan tidak dilaksanakan: Rudi tidak langsung interupsi karena dia ragu.

Trini hanya berbicara dalam pikirannya, "Andai aku berani, aku bakal interupsi walau aku sebagai wanita tidak berkewajiban untuk mengikuti ritual ibadah itu. Tapi, sayangnya aku tidak berani."

Jarum panjang semakin mendekati angka 12. Wawan makin terlihat khawatir, namun masih ragu untuk interupsi.

Tiba-tiba, sebuah kejadian yang tidak diprediksi sebelumnya terjadi.

Dodon, seorang teman yang duduk di dekat dinding, langsung berdiri.

Tanpa berucap, dia membawa tasnya dan berjalan ke luar pintu.

Dodon diikuti oleh semua mahasiswa muslim yang wajib dan akan Jum'atan.

Wawan dan Rudi terlihat senang.

Wawan berjalan sambil bergumam, "Makasih Don, lo dah wakilin Rudi buat nglakuin permintaan gue."

Trini yang melihat kejadian itu tentu saja senang. Keraguan kolektif dapat terpecahkan oleh satu kemantapan.

Mr. Hwanatabe berhenti sejenak sambil melihat mereka keluar lewat pintu.

Lalu dia berkata, "Bagi yg mau pergi untuk berdo'a, silakan."

Setelah mereka semua keluar, diskusi dilanjutkan kembali.

Rasa khawatir Trini tergantikan oleh rasa syukur. Dia dapat menikmati diskusi lagi hingga berakhir.

Selesai kelas..

Trini melihat Dodon, Wawan, & Rudi berkumpul di depan kelas. Mereka kira diskusi masih berlanjut setelah selesai Jum'atan.

Rudi bertanya pada Trini, "Eh, gimana tadi diskusi sama Mr. Hwanatabe ?"

"Seru banget. Sayang banget, kalian ga denger semuanya. Tapi, gue salut banget sama Dodon ! Gue sempet khawatir tadi tuh.."

Dodon," Subhanallah... Ternyata ga cuma gue yang awalnya khawatir kalo kita ga bisa Jum'atan. Masa cuma gara-gara diskusi yang seru, kita lewatin kewajiban sih."

Wawan, " Gue juga khawatir banget don, tapi ga berani interupsi."

Trini, "Ya, keliatan banget dari muka lo yang keliatan was was."

Rudi, "Oh ya Don, kok lo bisa nekad gitu sih. Ga mikir gimana jadinya kalo Mr. Hawanatabe marah gara-gara ada yang nyelonong keluar ?"

Dodon, "Gue sih berusaha pegang prinsip. Kalo panggilan sholat itu dateng, gue bakal siap-siap. Makanya tadi gue langsung pergi tanpa izin."

Trini, "Wow, Gimana kalo dosennya tersinggung ?"

Wawan, "Nyatanya ga kan ? Malah bilang 'silakan'."

Dodon, "Tersinggung ato ga, gue ga peduli. Yang penting, kita bisa Jum'atan"

Rudi, "setuju ! Ga kebayang kalo ga ada yang senekad Dodon tadi, apalagi tadi gue sama Wawan ga berani izin, cuma bisa ngedumel doank..."

Wawan, "Bisa bisa kita ga jadi Jum'atan parahnya."

Wawan melihat Mr. Hwanatabe berjalan jauh di depan mereka.

"Eh itu dia dosen kita. Jadi kan, mau ngomongin yang tadi ?"

Rudi & Dodon, "Jadiiii !"

Dodon, "Trini, kita duluan ya... Assalamu'alaikum !"

Trini," Sip.. Wa'alaikumussalam."

Tetap bersyukur karena punya teman seperti mereka, bagaikan jangkar yang membuat kapal tenang di tengah gelombang besar.

Ini salah satunya yang membuat dia tetap bertahan di fakultas Mudamudabir dengan lingkungan yang menggoncang iman dan menghentak pikiran.