Selasa, 24 Januari 2012

Piring Bersih

Selesai makan siang di meja makan restoran...

Dua orang sahabat, yaitu Anita dan Saka telah selesaikan makan siang. Setelah asik dengan makanannya, Anita terheran-heran melihat piring putih Saka yang bersih seperti sebelum dipakai, padahal sudah jelas Saka makan di piring putih itu.

Tak tahan dengan rasa penasarannya, Anita bertanya, “Gila.. Itu piring abis dicuci atau belum dipake? Bersih banget perasaan !”

Saka, “Kayak ga kenal gue aja. Dari dulu gue juga dah gini, makan sampe bersih, ga ada sisanya.” Lalu Saka melihat piring Anita yang menurutnya belum bersih, terdapat sedikit daging ayam yang masih melekat di tulangnya, beberapa butir nasi yang tergeletak di piring, serta bayem yang tidak tersentuh mulut sama sekali. “Kalo gue jadi lo, itu piring gue bersihin. Masih ada makanan yang sebenernya bisa dimakan. Itu bayem kenapa ga lo makan ?”

Anita, “Ga suka sayur. Hehe”

Saka, “Boleh gue makan ?”

Anita, “Boleh.. boleh..”

Anita menatap Saka dengan tatapan terkagum-kagum. Dalam benaknya, dia berkata, “Temen gue bener-bener sayang makanan nih. Ga kayak gue yang…”

Tiba-tiba Saka telah selesai makan dan berdo’a. “Selesai ! Yuk, pulang..”

Anita, “Tunggu dulu lah.. Nurunin dulu nih, makanan. Kenyang banget nih.”

Saka, “Abis.. lo beli makan kebanyakan. Mending kalo beli dikira-kira sama kemampuan makan lo, biar ga kekenyangan ato sisa. Gue beli makan segini karna gue yakin bakal abis.”

Anita, ”Oh.. gitu ya. Trus, apa lo ga kenyang, masih mau juga ngabisin sayur gue ?”

Saka, “Seriusan. Gue rela kalo perut gue jadi tong sampah buat makanan yang masih bisa dimakan daripada makanan itu masuk tong sampah beneran !”

Anita semakin heran, “Segitunya sih… Gue sih, kalo emang ga suka.. ya sudah, buang aja.”

Saka, ”huff. Gue diajarkan buat bersyukur. Apa pun yang disediakan di meja makan keluarga, harus dimakan. Makanya, lo liat keluarga gue keliatan bugar kan ? hahaha.”

Anita, “Berarti, sekeluarga abis makan piringnya selalu bersih semua ya ?

Saka, “Ga juga, kalo ada tulang, kita ga bakal makan itu tulang lah.”

Anita, “Yaiyalah. Semua orang juga bakal gitu… Bandingin deh. Di piring gue, masih ada beberapa nasi yang tersisa. Di piring lo, ga ada sama sekali ! Keren… Katanya, kita ga boleh mubadzir, tapi ga segitunya menurutku..”

Saka, “Ya.. Diusahakan kita makan semuanya. Mungkin, beberapa butir nasi yang tersisa dalam satu kali makan ga kehitung… ga kerasa jumlahnya, tapi bayangin deh. Buat orang-orang yang biasa ga habis makanannya, gimana kalo dalam sehari, seminggu, sebulan ? Akumulasinya ?”

Anita,” hmm… Banyak”

Saka, “Ga banyak, tapi ga kehitung ! Menurut gue, itu sama aja kayak mubadzir versi nyicil. Mungkin aja, orang-orang yang ga mampu beli makan berpikir bahwa sisa-sisa nasi di piring itu bener-bener berharga lho.”

Anita, “Pantesan… Lo makan kayak ga makan aja. Abis piring lo bersih banget, kayak abis dicuci.”

Saka, “ Kayak abis dicuci ? Ga kali… Kalo bersih, ya. Hehehe. Eh, makanan di perut lo dah turun kan ? Tuh, bersihin piring lo. Sini, gue bantu..”

Saka sudah memegang sendok Anita untuk “menyendoki” sisa-sisa makanan. Namun, Anita langsung menyadari tindakan temannya itu, lalu dia merebut sendoknya dari genggaman Saka.

Anita, “Udah.. udah… Gue juga bisa nglakuin itu sendiri. Bener juga kata lo… Makasih ya, buat pencerahannya.” Anita pun membersihkan makanannya hingga bersih.

Saka, “Ya.. sama-sama. Inget-inget aja… Ada berkah di akhir makanan ”

Anita, “ Oh ya.. itu hadits kan..”

Saka, “Tepat ! Sebenernya ajaran Islam tuh bagus lho.. Ga cuma buat diinget, tapi diimplementasikan. Gitchuu.”

Anita, “Ok ok..Ayo, kita pulang… Eh, hampir aja lupa. Berdo’a dulu denk.”

Setelah mereka berdo’a, mereka melangkah keluar restoran untuk kembali ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan, mereka melihat piring-piring yang sangat kotor di meja di sebuah restoran. Seorang pelayan restoran membuang sisa makanan di piring itu. Melihat itu, Saka miris. Begitu juga dengan Anita ketika mereka melihat fenomena itu terjadi di berbagai restoran yang mereka lewati.

Saat itu juga, masing-masing dari mereka membawa oleh-oleh selain rasa kenyang. Anita mendapatkan penyegaran pikiran dalam hal makan. Saka membawa pengetahuan baru tentang sebuah kenyataan: muabdzir masih menjadi tren, terlepas itu disadari atau ga.


***

Sabtu, 07 Januari 2012

Sampah, sampah, sampah !!!

Aku dalam perjalanan dari Pasar Rebo menuju Depok...

Sore itu rasanya melelahkan sekali. Aku & temanku, Cibe “berkelana” di Pasar Senin sebagai bagian dari pusat Kota edan ini (Jakarta maksudnya.. hehe). Kenapa aku sebut “edan.” Situasi di tempat umum di kota Jakarta terlihat edan bagiku: macet, banyak orang yang tidak sabaran (contoh: dikit-dikit membunyikan klakson), sering terdengar umpatan orang, dll.

Terlepas dari sifat edan tersebut. Aku mau cerita pengalamanku di angkot rute Pasar Rebo- Depok. Alhamdulillah, kami mendapatkan angkot yang ga terlalu penuh. Aku juga bisa dapet tempat duduk yang sebelah kanan & kiri sama-sama perempuan (jujur, aku risih kalau harus dempetan sama laki-laki). Seperi biasa, mataku sering ke sana kemari melihat penumpang, bukan maksud menatap mereka untuk kepo terhadap hal-hal yang mereka bicarakan, tapi aku ingin sekedar melihat fenomena yang ada karena siapa tahu aku mendapat suatu pelajaran baru.
Tak disangka... Benar, aku mendapatkan pelajaran baru. Di seberangku, ada dua ibu-ibu yang mengobrol. Salah salah satunya mengeluarkan salak. Sudah pasti beliau ingin membuka lalu memakannya. Aku terus memperhatikan mereka. Bukan percakapan mereka yang menjadi fokusku, tapi tindakan yang ... (sulit menjelaskannya dengan kata-kata karena emosiku campur aduk)

Biar ga bingung, pake label saja. Ibu yang memegang salak (ibu A) dan temannya (ibu B). Ibu A membuka salak. Beliau berkata, “Ga ada biaya buat bersihin sampah” sambil membuang kulit salak yang telah terkupas. Ibu A melakukan tindakan tersebut sambil mengobrol dengan ibu B, tertawa, tanpa rasa bersalah.

Ibu A dengan muka santai seperti itu, sementara aku di seberangnya dengan muka dongkol, jelek, cemberut. Memang aku ga bawa kaca untuk lihat mukaku, tapi itu menggambarkan betapa sedih, sebel, dan kecewanya diriku. Tiba-tiba, perang batin dimulai. Jangan heran ya.. Ini sering sekali terjadi. Ketiga tokoh yang berdialog di bawah ini sama-sama terdapat dalam pikiranku, hanya saja mungkin penamaannya salah.


Superego: “Cepet, tawarin ibunya tisu atau plastik buat tempat sampah !”

“Setan”: (Datang dengan tiba-tiba, secara halus, bahkan pemilik pikiran tidak sadar)” Jangan Rizka, kalau kamu negur ibu itu nanti kamu dibilang sok bersih. Ga usah bilang lah, diem aja.”

Ego: (bingung, galau, belum bisa memutuskan)

Aku hanya bisa memasang muka jelek, tanpa diketahui kedua ibu tersebut. Masih berlarut-larut dengan kekecewaan.

Superego: “Ayolah Rizka, tugas sesama adalah saling mengingatkan.”

Ego: “Ya juga sih.. Kalau ibunya ga ditegur, mungkin selamanya ga bakal sadar kalau itu salah”

“Setan”: “Rizka.. Rizka... kamu tuh orang yang lemah, ga bakal bisa ngomong asertif”


Akhirnya, “setan” lebih kuat. Aku menyesal. Sungguh menyesal. Rasanya, pengen marah sama diri sendiri. Pengen jedug-jedug in kepala *lebai. Kenapa aku ga bisa mengikuti kata superego ? Aku bisa membuat beliau tersadar, atau lebih ekstrimnya, malu.

BAYANGKAN. Itu baru satu orang. Aku yakin, di luar lingkungan itu masih banyak orang yang berbuat seperti itu. Aku prihatin melihatnya. Kenapa orang pada males buang sampah di tempat sampah sih ? Apa gunanya tempat sampah ? Apa mereka ga memikirkan lingkungan yang semakin jorok, bawa-bawa penyakit, berujung pada mati secara ga terhormat ? MALAS kah yang jadi penyebab utamanya ?

Aku bisa membayangkan, bagaimana anak dari orang-orang seperti itu. Yang namanya anak kecil, pasti ga beda jauh dari orang tuanya. Ingat teori modeling kan ? Di bukunya, Wittig (lupa tahun berapa), menyebutkan modeling melibatkan observasi pola untuk berperilaku, lalu diikuti dengan tingkah laku yang sama atau mirip. Orang tua bisa jadi model bagi anak. Salah satu teori modeling adalah social learning yang menekankan pada peran yang dimainkan melalui hubungan interpersonal. Berarti, orang tua yang jorok (suka buang sampah sembarangan) cenderung punya anak yang jorok juga. Kecenderungannya begitu, kecuali kalau anak itu tobat dan sadar akan lingkungan ketika sudah besar, mengingat model bukan hanya orang tua.

Anak yang jorok punya anak lagi yang juga jorok. Duh duh... jadi generasi jorok nih bisa-bisa. Ga heran ya... tempat umum di Indonesia jarang banget yang bersih kecuali kalau ada orang yang digaji untuk membersihkan. Itu sepengalamanku sih.

Kembali ke pelajaran. Apa saja yang bisa diambil dari cerita ini ?
1. Buat diriku pribadi: asertif
2. Buat semuanya, jangan buang sampah sembarangan ya.


Semoga bermanfaat & bisa dipahami :)


Keterangan:

Di bagian dialog, kan ada istilah "superego" & "ego". Itu dicetuskan oleh tokoh psikoanalisis yang bernama Sigmund Freud. Freud menyatakan bahwa tingkatan mental ada dua: ketidaksadaran (unconscious) & kesadaran (conscious). Selain dua komponen itu, ada juga "daerah" pikiran: id, ego, & superego. Id berada dalam kawasan ketidaksadaran dan menekankan pada prinsip kesenangan. Kalau di dialog tadi, ga bisa diterapkan. Konsep "id" mirip dengan "hawa nafsu manusia". Superego adalah semacam hati nurani. Makanya, di contohnya, superego berperan untuk mendorong Rizka berbuat baik. Terakhir: ego. Itu bertugas sebagai pengambil keputusan dalam bertindak. Ego adalah diri yang berinteraksi dengan dunia di luar diri.


Sumber:
- Wittig, A. F. Psychology of Learning
- Feist, J. & Feist, G. J. (2009). Theories of Personality (11th ed.). New York: McGraw-Hill.