Selasa, 27 September 2016

Ujian, Kecemasan, dan Self-Esteem


Apa yang kamu lakukan ketika melihat teman yang galau berat karena ucapan orang lain ? atau terlalu cemas ketika ujian ? Mungkin reaksimu adalah tertawa atau terbesit dalam pikiran “Cuma karena ucapan orang lain aja, langsung down gitu. Lemah banget !”
Silakan saja berpikir seperti itu, tapi setelah membaca ceritaku ini, aku berharap skala empatimu terhadap orang pencemas bisa bertambah walaupun pertambahan itu hanya 1 angka.
--
Kemarin adalah jadwal aku ujian kasus. Aku sudah mempersiapkannya dengan usaha yang keras, pontang panting, beberapa hari sebelumnya sudah kubuatkan ppt. Aku sudah optimis dan tenang di hari itu, bahkan paginya aku masih bisa jalan sehat 20 menitan. “Aku sudah berusaha keras, aku akan melakukan yang terbaik, tenang saja..” Aku sudah camkan itu.
Bersyukur pula, bapakku bilang “Jangan jadikan ujian sebagai beban. Bapak ga kecewa, apapun hasilnya.” Semakin menenangkan aku.. (Makasih ya Bapak.. :)

Overall, kondisiku masih baik-baik saja, bahkan sampai aku duduk dan mendengarkan temanku presentasi. Aku dapat giliran terakhir.

Perubahan terjadi saat memasuki sesi tanya jawab. Aku melihat temanku, dia tampak biasa saja. Aku yang tidak biasa. Jantung berdebar lebih keras, detaknya kurasakan di kepala, hingga aku pusing. Badanku sudah bergerak-gerak tanpa alasan yang jelas. Oke, ini tanda-tanda kecemasan, tapi aku tidak tau apa yang aku cemaskan saat itu. Aku semakin paham bagaimana kondisi pasien yang mengeluhkan sakit fisik tapi ketika ditanya sedang memikirkan apa jawabannya adalah “Tidak tahu”. Balik lagi ke diriku.. Aku sudah berusaha lakukan relaksasi nafas, but it doesn’t work, bahkan ketika temanku di seberang melihat perilakuku dan memintaku untuk tenang (thanks to mbak Dev). 

Gejala kecemasanku sudah semakin reda di waktu istirahat dan aku bisa shalat. Mendekati giliranku, aku masih mantap untuk persiapkan perangkat presentasi. Laptop, file, pointer, dan yakin.. Baiklah, aku mulai presentasi. Aku tau, aku grogi tapi untungnya aku tidak sampai speechless, Alhamdulillah. Yup.. bisa ngomong di depan orang untuk mempresentasikan hasil karya adalah sebuah perjuangan keras sejauh ini dan aku sudah berprogres dalam hal ini. Lagi-lagi, alhamdulillah. Bodo amat bagaimana reaksi audiens.

Grogi semakin tinggi saat sesi tanya jawab. Aku bisa menjawab semua pertanyaan dosen dan psikolog. Aku masih bisa mengklarifikasi persepsi mereka yang tidak sesuai dengan maksudku. Aku juga masih bisa menerima saran mereka dengan terbuka. Poin-poin perkataan mereka aku catat. Yang aku ingat adalah, mereka semua bilang apa kekuranganku. Penyampaian mereka juga bagus, intonasi yang halus, bahkan diselingi tawa juga. Namanya juga evaluasi ya, semua ditujukan agar karyaku lebih baik. Hanya saja, aku merasa tidak nyaman. Kepalaku pusing. Clear, aku masih cemas walaupun aku tidak tahu apa yang sebenarnya membuatku cemas.

Pernyataan penutup dari dosen sedikit menghibur, “Kalian pasti usaha pontang panting kan. Kita semua masih belajar. Saya aja juga masih belajar dari presentasi kalian”. Kurang lebih begitu lah. Aku semakin tahu bahwa evaluasi memang tujuannya baik, tapi entah kenapa aku masih merasa tidak nyaman.

Alhamdulillah, pusing reda setelah ujian selesai. Jantung juga sudah normal lagi. Kondisi emosiku saja yang masih jelek. Aku tidak puas dengan presentasiku barusan. Yang jelas, untuk sementara ini aku tidak akan menyentuh HPP karena aku sadar pikiranku masih lelah. Mau melakukan apa jadi malas. Aku jadi lebih pasif.

Waktunya untuk merenung... Beginilah kurang lebih dialog internal. Aku berusaha melakukan terapi pada diriku sendiri, mungkin humanistik, supaya aku sendiri tahu apa sih yang aku rasakan dan pikirkan hingga aku merasa tidak nyaman.
-: “Aku takut dievaluasi. Seakan-akan evaluasi itu intimidasi. Makanya aku sudah mulai cemas duluan ketika temanku ditanya-tanya.”
+: “Hei,, tenanglah. Evaluasi itu ada supaya kamu semakin baik. Tanda mereka sayang.. Mereka tidak ada maksud untuk menjatuhkanmu”
-: “Tapi mereka bilang apa saja kurangku. Tidak ada komentar positif. Aku ga tau apa yang sudah bagus dari diriku dan yang perlu dipertahankan. Seakan-akan usahaku selama ini sia-sia, padahal usahaku tidak main-main. Sedih rasanya. Ini yang membuatku malas.”
+: “Kamu berhak me-reward diri sendiri. You’re doin great.”
-: “Ga percaya. Sama saja rasanya masih down begini.”
+: “Ya sudah, memang butuh proses dan waktu untuk bangkit lagi. Coba minta feedback dari teman-teman.”

Aku pun japri dan meminta feedback mereka. Mereka semua memberikan feedback positif. Aku juga membaca tips-tips mengatasi perfeksionisme: fokus pada usaha, bukan output; pikirkan lagi apakah keadaan jadi lebih baik kalau performaku memang jauh lebih baik (tidak juga, pasti kritik selalu ada); hargai diri sendiri meskipun not doing well.. (Link artikel: https://www.psychologytoday.com/blog/the-mindful-self-express/201512/the-3-most-common-causes-insecurity-and-how-beat-them?utm_source=FacebookPost&utm_medium=FBPost&utm_campaign=FBPost)

Sayangnya, tetap saja aku masih down. Malas saja rasanya. Bahkan evidence dari teman dan artikelpun belum cukup. Pendekatan kognitif belum cukup ampuh saat ini. 

Benar kan, pertolongan Allah diperlukan agar aku bangkit lagi. Aku evaluasi diriku lagi: Hatiku belum lapang. Astaghfirullah.. Maafkan aku ya Allah, aku masih bergantung sama perkataan orang agar aku tetap teguh. Tolong aku, perbaiki diriku. 

Aku hanya bisa berpesan pada diriku,“benar kalau kamu cemas saat ujian itu, tapi apa yang kamu cemaskan itu tidak benar. Kalau ada yang bilang usahamu belum cukup. Itu BOHONG. Usahamu sudah begitu keras. Maafkan orang-orang lain ya, mereka mungkin terlalu lelah hingga fokus pada apa-apa yang kurang, sementara yang positif diabaikan. Setidaknya, berusahalah untuk menghargai jasadmu sendiri yang sudah pontang panting bekerja. You deserve to reward yourself.”
Oke, aku berjuang untuk bangkit kembali, jelas bukan proses yang instan. Hal yang perlu aku syukuri adalah aku bisa menyadari pikiran dan perasaanku sehingga aku bisa berusaha memodifikasinya hingga kondisiku bisa lebih baik lagi.
--
Sudah, cukup dengan cerita tentang ujian. Aku tidak menyesal dengan pengalaman cemasku yang berdampak signifikan pada kondisi fisikku. Pasti ada pelajarannya kan. Aku beharap semakin bisa berempati pada orang-orang pencemas, meskipun orang lain menyepelekan kecemasan mereka.
Pelajaran lain adalah aku perlu berusaha menghargai usaha dan progres orang lain sekecil apapun itu. Gawat kalau sering menyepelekan hal positif orang lain. Tanda tidak bersyukur. Bisa bisa berpotensi menimbulkan kerusakan pada orang yang kusepelekan: menurunkan self-esteem, menciutkan nyali, menurunkan semangat, putus asa, menuntut diri sendiri karena takut gagal, atau berperilaku menyimpang.

Boleh sih menuntut orang lain, tapi seimbangkan dengan apresiasi yaa :)

*Kutulis note ini tanpa berpikir panjang. Wajar ya kalau agak random. hehe

Kamis, 14 April 2016

TERLIHAT Cantik

Seorang wanita berdandan memoleskan lipstik pada bibir. Entah untuk apa.. Mungkin menutupi warna asli wajah sehingga terlihat cerah di mata orang lain.  Pujian seperti “cantik” dilontarkan padanya. Alasan simpel lainnya adalah sekedar menyenangkan diri sendiri hingga  mudah tersenyum kalau berkaca.

Sampai di ruang pertemuan dan bertemu dengan teman-teman, mereka memuji “Cantik...”
Keesokan harinya, dia lupa memoleskan lipstik karena kemrungsung dan merasa biasa saja tanpa lipstik.  Reaksi teman-teman yang melihat adalah “Kok ga pakai lagi ? Padahal cantik lho kemarin pas pakai.”

Yang ada di benaknya adalah. Apakah mereka hanya memuji wanita cantik ketika menggunakan make up, ketika wajah TERLIHAT cerah ? Berarti kalau ga pakai make up, ga cantik ? Kalau memang demikian, wanita yang ga jahat hatinya pun juga bisa mendapatkan predikat cantik karena di-make up.

Betapa beratnya dampak pandangan mata dan penilaian manusia ya. Karena itu, para wanita rela memoles sedikit zat kimiawi entah merkuri atau timbal, ke bagian tubuh yang dengannya bisa menyampaikan bahasa verbal dan non verbal. Karena penggunaan zat kimiawi itu, para wanita bisa TERLIHAT cantik, meskipun kondisi hatinya kita murung.

Dasar manusia ya. Terjebak pada apa yang terlihat oleh mata. Hanya mengapresiasi pada sesuatu yang bukan apa adanya, tapi apa yang tampak bagus. 

Padahal, pandangan mata itu hanya sekilas. Kalian akan tau apa isi hatinya nanti. Memang dia terlihat cantik, tapi senyumnya bukan dari hati. Senyumnya karena senang melihat dirinya TERLIHAT lebih cantik. Ada juga yang make-upnya tebal, untuk menyembunyikan kerutan-kerutan alami pada wajahnya. Sengaja pakai make up karena ga bangga dengan wajah aslinya. Sampai ada juga yang bergantung pada make up, “Rasanya kalau ga pakai make-up, ada yang kurang.”

Bukan bermaksud menjelek-jelekkan fungsi make-up dan orang yang menggunakannya, tapi rasanya sayang saja kalau para wanita justru lebih menghargai kecantikan hanya ketika menggunakan make-up.  

Jangan khawatir, wanita yang cantik hatinya juga akan terlihat cantik nantinya, apapun label dari orang-orang terhadap kondisi fisiknya.