Cermati
sejarah hidup kita sebagai manusia. Perjalanan hidup dimulai sejak perjanjian
agung ini:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?” mereka menjawab: “
Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi....” (Al-A’raf
:172)
Itu merupakan perjanjian
agung antara para ruh dengan Allah, sebelum manusia wujud
di dunia ini. Pasti kita sebagai manusia, tidak ada
yang ingat dengan perjanjian itu. Wajar saja, manusia (insan) berasal dari kata
nasiya dalam bahasa Arab, yang
artinya lupa.
Tidak
ada ruh yang menyangkal bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa. Dengan bekal itulah
manusia di dunia ini, dari lubuk hatinya yang terdalam, mengakui Allah sebagai Illah dan Rabb. Ini merupakan keadaan fithroh (فطرة), yaitu ciptaan, keadaan asli/alami, dan merupakan
pemberian Allah bagi semua makhluk. Itu sebabnya semua bayi yang baru lahir
berada dalam keadaan fithroh, bebas dari dosa, namun bukan berarti seperti
kertas polos, karena ia punya sifat-sifat dasar sebagai manusia.
Fithroh
manusia iawal dengan persaksian bahwa Allah adalah Illah dan Rabb. Persaksian
itu bukan sekedar menandai manusia percaya akan status Allah sebagai Tuhan,
tapi juga menjadi hamba-Nya yang sholeh, berbakti pada orang tua, menjaga
amanah, belajar dengan sepenuh hati, memberi makan fakir miskin, menjauhi zina,
tidak meminum khamr, melakukan berbagai kebaikan lainnya yang berlandaskan
wahyu, dan taat terhadap aturan-aturan Allah. Jika manusia melakukan hal-hal
tersebut, ia mengikuti fithrohnya. Sadar akan sejarah hidupnya yang berawal
dari perjanjian agung dengan Allah, merealisasikan persaksiannya dengan
menyerahkan diri pada-Nya.
Penyerahan
diri yang tentu bukan atas dasar keterpaksaan, melainkan kesadaran sepenuhnya dan dilakukan sepanjang
hidup manusia. Dengan dasar itulah justru ibadah menjadi hal yang
semestinya dilakukan manusia, dan bersyukurlah ! Memang ibadah adalah tujuan
manusia diciptakan.
Tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia untuk
beribadah pada-Ku (Adz-Dzariyat:
56)
Segenap
jiwa dan raga akan senang beribadah karena
ibadah tentu saja sesuai dengan fithroh. Beribadah dalam rangka mengikuti fithroh juga berarti
tidak menghilangkan sifat-sifat dasarnya sebagai manusia, seperti adanya nafsu,
keinginan, dan amarah, tapi juga menempatkan sifat-sifat tersebut pada
tempatnya. Contohnya adalah amarah. Manusia boleh saja marah, asal meletakkan
marah pada tempatnya. Boleh marah ketika melihat hal-hal yang dilarang oleh
Allah. Orang tua perlu memarahi anaknya jika ia berbohong. Guru boleh memarahi
muridnya ketika ia ketahuan mencontek. Pedagang boleh marah ketika ada orang
yang tidak mau membayar dagangannya, karena ia berhak atas bayaran itu. Polisi
boleh marah ketika melihat pengendara motor menerobos lampu merah. Seorang
ulama boleh marah ketika melihat para politisi korupsi. Masyarakat boleh marah
ketika ada sebuah lokalisasi prostitusi dilegalkan. Amarah dalam beberapa
contoh itu tepat karena sejatinya hati manusia tidak suka melihat kemaksiatan
dan menginginkan keadilan. Amarah yang tidak diletakkan secara tepat adalah
ketika marah hanya karena nafsu, seperti marah karena keinginan mendapatkan
barang kesukaannya tidak terpenuhi, orang tua atau guru memarahi anak yang
sering bertanya, politisi yang marah ketika undang-undang anti korupsi
dihapuskan. Ini amarah yang salah tempat.
Keadaan
akan menjadi indah ketika manusia dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Itu
lah keadaan fithroh pada manusia. Manusia pada awalnya terlihat baik, bukan ? Sayangnya
perjalanan hidup tiap ruh dalam tubuh manusia tidaklah sama.
“Tidaklah setiap anak yang lahir
kecuali dilahirkan dalam keadaan fithroh. Maka kedua orangtuanyalah yang
akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi… (Hadits riwayat Abu Hurairah)
Lingkungan
sekitar dapat memberi pengaruh pada keadaan manusia, sehingga di dunia ini ada
manusia yang setia dan ingkar terhadap fithrohnya. Adanya pengaruh itu tidak
menjadikan lingkungan sebagai satu-satunya penyebab kesetiaan atau keingkaran manusia
akan fithroh karena manusia dapat memilih. Ingin tetap setia atau ingkar, itu
pilihan dan tiap pilihan mengandung konsekuensi. Siapa
yang mengikuti fithroh, ia beruntung. Siapa yang melawan atau ingkar, ia merugi.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya (Asy- Syams: 9-10)
Mereka
yang “merugi” bukan dizholimi, tapi justru mereka lah yang menzholimi diri
sendiri. Menzholimi diri sendiri memiliki makna yang lebih dari “menyiksa diri
sendiri secara fisik”. Bukan semata sengaja tidak makan hingga kelaparan,
bangun semalaman hingga pagi hari, atau bahkan bunuh diri. Maksud menzholimi diri dikembalikan pada makna fithroh, yaitu keadaan alami
manusia yang diberikan oleh Allah. Perbuatan menzholimi diri sendiri berarti
berbuat menyimpang dari fithrohnya. Contohnya adalah pencuri. Orang yang
mencuri secara kasat mata menzholimi orang lain yang diambil barangnya, namun
sebenarnya si pencuri itulah yang menzholimi dirinya sendiri. Hati manusia pada
dasarnya akan menolak tindakan mencuri barang orang lain. Hatinya akan
mengatakan bahwa semestinya barang itu tetap berada di tempat orang lain, bukan
berpindah ke tempat pribadi karena dirampas. Tentu saja hati yang normal akan
menginginkan sesuatu berada di tempatnya, itu fithroh, namun sayangnya seorang
pencuri tidak menghiraukan perkataan hatinya sendiri. Itu yang menyebabkan
muncul tindakan menzholimi diri sendiri.
Keburukan
yang dilakukan pada awalnya tidak tercetus dalam hati manusia. Manusia telah diciptakan untuk cenderung pada kebaikan,
namun sayangnya ada yang memilih untuk tidak cenderung pada kebaikan. Manusia
yang sadar akan sejarah hidupnya sejak perjanjian agung itu, akan berpikir
ulang ketika meniatkan suatu kejahatan karena justru kejahatan itu berdampak
pada diri sendiri.
Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi
dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu
sendiri (Al-Isra’: 7).
Benar-benar
adil ! Ketika ada orang yang berperilaku buruk dan merugikan kita, sebenarnya ialah
yang rugi, karena keadaan asal manusia adalah berbuat baik pada orang lain,
namun ia menyimpang dari keadaan asal. Keadaan merugi itu membuat hatinya tidak tenteram jika ia peka
terhadap keadaan hatinya.
Hanya
manusia yang cenderung pada hawa nafsu, akan melawan fithroh. Itu sebenarnya
membuat ia merugi. Manusia yang cerdas tentu berusaha tidak akan menzholimi
dirinya karena ia tidak ingin rugi. Ibadah pun menjadi kebutuhan untuk
mengikuti fithrohnya. Itulah keadaan manusia yang beruntung hingga akhir nanti.
Pada akhirnya
manusia yang memilih, ingin dibawa
ke mana kehidupannya. Kehidupan untuk mengikuti fithroh atau sebaliknya. Boleh
memilih untuk setia
dengan fithroh, sehingga
beruntung pada akhirnya (hingga akhirat nanti). Boleh juga mengingkarinya, sehingga pada akhirnya merugi. Yang perlu diingat adalah bahwa semua
pilihan ada konsekuensinya. Itu yang akan
menentukan bagaimana akhir perjalanan hidup manusia.
*Tulisan
ini berlaku bagi siapa saja, namun makna tulisan ini hanya dapat dipahami oleh manusia yang masih menggunakan
hatinya untuk berpikir.
Sumber Inspirasi:
Al-qur’an
al Karim
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib.
(1991). Islam dan Sekularisme. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan
Pembangunan Insan.
Imam
Al-Ghozali. Keajaiban Hati. Penerbit
Khatulistiwa.
http://islamic-dictionary.tumblr.com/post/4943479980/fitra-or-fitrah-arabic-is-an-arabic-word diakses
tanggal 16 januari 2014.