Minggu, 09 Maret 2014

Perjanjian Agung: Setia atau Ingkar ?

Cermati sejarah hidup kita sebagai manusia. Perjalanan hidup dimulai sejak perjanjian agung ini:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu ?” mereka menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi....” (Al-A’raf :172)

Itu merupakan perjanjian agung antara para ruh dengan Allah, sebelum manusia wujud di dunia ini. Pasti kita sebagai manusia, tidak ada yang ingat dengan perjanjian itu. Wajar saja, manusia (insan) berasal dari kata nasiya dalam bahasa Arab, yang artinya lupa.

Tidak ada ruh yang menyangkal bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa. Dengan bekal itulah manusia di dunia ini, dari lubuk hatinya yang terdalam, mengakui Allah sebagai Illah dan Rabb. Ini merupakan keadaan fithroh (فطرة),  yaitu ciptaan, keadaan asli/alami, dan merupakan pemberian Allah bagi semua makhluk. Itu sebabnya semua bayi yang baru lahir berada dalam keadaan fithroh, bebas dari dosa, namun bukan berarti seperti kertas polos, karena ia punya sifat-sifat dasar sebagai manusia.

Fithroh manusia iawal dengan persaksian bahwa Allah adalah Illah dan Rabb. Persaksian itu bukan sekedar menandai manusia percaya akan status Allah sebagai Tuhan, tapi juga menjadi hamba-Nya yang sholeh, berbakti pada orang tua, menjaga amanah, belajar dengan sepenuh hati, memberi makan fakir miskin, menjauhi zina, tidak meminum khamr, melakukan berbagai kebaikan lainnya yang berlandaskan wahyu, dan taat terhadap aturan-aturan Allah. Jika manusia melakukan hal-hal tersebut, ia mengikuti fithrohnya. Sadar akan sejarah hidupnya yang berawal dari perjanjian agung dengan Allah, merealisasikan persaksiannya dengan menyerahkan diri pada-Nya.

Penyerahan diri yang tentu bukan atas dasar keterpaksaan, melainkan  kesadaran sepenuhnya dan dilakukan sepanjang hidup manusia. Dengan dasar itulah justru ibadah menjadi hal yang semestinya dilakukan manusia, dan bersyukurlah ! Memang ibadah adalah tujuan manusia diciptakan.

Tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia untuk beribadah pada-Ku (Adz-Dzariyat: 56)
Segenap jiwa dan raga akan senang beribadah karena ibadah tentu saja sesuai dengan fithroh. Beribadah dalam rangka mengikuti fithroh juga berarti tidak menghilangkan sifat-sifat dasarnya sebagai manusia, seperti adanya nafsu, keinginan, dan amarah, tapi juga menempatkan sifat-sifat tersebut pada tempatnya. Contohnya adalah amarah. Manusia boleh saja marah, asal meletakkan marah pada tempatnya. Boleh marah ketika melihat hal-hal yang dilarang oleh Allah. Orang tua perlu memarahi anaknya jika ia berbohong. Guru boleh memarahi muridnya ketika ia ketahuan mencontek. Pedagang boleh marah ketika ada orang yang tidak mau membayar dagangannya, karena ia berhak atas bayaran itu. Polisi boleh marah ketika melihat pengendara motor menerobos lampu merah. Seorang ulama boleh marah ketika melihat para politisi korupsi. Masyarakat boleh marah ketika ada sebuah lokalisasi prostitusi dilegalkan. Amarah dalam beberapa contoh itu tepat karena sejatinya hati manusia tidak suka melihat kemaksiatan dan menginginkan keadilan. Amarah yang tidak diletakkan secara tepat adalah ketika marah hanya karena nafsu, seperti marah karena keinginan mendapatkan barang kesukaannya tidak terpenuhi, orang tua atau guru memarahi anak yang sering bertanya, politisi yang marah ketika undang-undang anti korupsi dihapuskan. Ini amarah yang salah tempat.

Keadaan akan menjadi indah ketika manusia dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Itu lah keadaan fithroh pada manusia. Manusia pada awalnya terlihat baik, bukan ? Sayangnya perjalanan hidup tiap ruh dalam tubuh manusia tidaklah sama.
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fithroh. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi… (Hadits riwayat Abu Hurairah)

Lingkungan sekitar dapat memberi pengaruh pada keadaan manusia, sehingga di dunia ini ada manusia yang setia dan ingkar terhadap fithrohnya. Adanya pengaruh itu tidak menjadikan lingkungan sebagai satu-satunya penyebab kesetiaan atau keingkaran manusia akan fithroh karena manusia dapat memilih. Ingin tetap setia atau ingkar, itu pilihan dan tiap pilihan mengandung konsekuensi. Siapa yang mengikuti fithroh, ia beruntung. Siapa yang melawan atau ingkar, ia merugi.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Asy- Syams: 9-10)

Mereka yang “merugi” bukan dizholimi, tapi justru mereka lah yang menzholimi diri sendiri. Menzholimi diri sendiri memiliki makna yang lebih dari “menyiksa diri sendiri secara fisik”. Bukan semata sengaja tidak makan hingga kelaparan, bangun semalaman hingga pagi hari, atau bahkan bunuh diri.  Maksud menzholimi diri dikembalikan pada makna fithroh, yaitu keadaan alami manusia yang diberikan oleh Allah. Perbuatan menzholimi diri sendiri berarti berbuat menyimpang dari fithrohnya. Contohnya adalah pencuri. Orang yang mencuri secara kasat mata menzholimi orang lain yang diambil barangnya, namun sebenarnya si pencuri itulah yang menzholimi dirinya sendiri. Hati manusia pada dasarnya akan menolak tindakan mencuri barang orang lain. Hatinya akan mengatakan bahwa semestinya barang itu tetap berada di tempat orang lain, bukan berpindah ke tempat pribadi karena dirampas. Tentu saja hati yang normal akan menginginkan sesuatu berada di tempatnya, itu fithroh, namun sayangnya seorang pencuri tidak menghiraukan perkataan hatinya sendiri. Itu yang menyebabkan muncul tindakan menzholimi diri sendiri.

Keburukan yang dilakukan pada awalnya tidak tercetus dalam hati manusia. Manusia telah  diciptakan untuk cenderung pada kebaikan, namun sayangnya ada yang memilih untuk tidak cenderung pada kebaikan. Manusia yang sadar akan sejarah hidupnya sejak perjanjian agung itu, akan berpikir ulang ketika meniatkan suatu kejahatan karena justru kejahatan itu berdampak pada diri sendiri.
Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri (Al-Isra’: 7).

Benar-benar adil ! Ketika ada orang yang berperilaku buruk dan merugikan kita, sebenarnya ialah yang rugi, karena keadaan asal manusia adalah berbuat baik pada orang lain, namun ia menyimpang dari keadaan asal. Keadaan merugi itu  membuat hatinya tidak tenteram jika ia peka terhadap keadaan hatinya.

Hanya manusia yang cenderung pada hawa nafsu, akan melawan fithroh. Itu sebenarnya membuat ia merugi. Manusia yang cerdas tentu berusaha tidak akan menzholimi dirinya karena ia tidak ingin rugi. Ibadah pun menjadi kebutuhan untuk mengikuti fithrohnya. Itulah keadaan manusia yang beruntung hingga akhir nanti.
Pada akhirnya manusia yang memilih, ingin dibawa ke mana kehidupannya. Kehidupan untuk mengikuti fithroh atau sebaliknya. Boleh memilih untuk setia dengan fithroh, sehingga beruntung pada akhirnya (hingga akhirat nanti). Boleh juga mengingkarinya, sehingga pada akhirnya merugi. Yang perlu diingat adalah bahwa semua pilihan ada konsekuensinya. Itu yang akan menentukan bagaimana akhir perjalanan hidup manusia.

*Tulisan ini berlaku bagi siapa saja, namun makna tulisan ini hanya dapat  dipahami oleh manusia yang masih menggunakan hatinya untuk berpikir.

           

Sumber Inspirasi:
Al-qur’an al Karim
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1991). Islam dan Sekularisme. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan.
Imam Al-Ghozali. Keajaiban Hati. Penerbit Khatulistiwa.


0 komentar: