Aku dibesarkan di lingkungan Jawa, otomatis bisa berbahasa Jawa sedikit. Sedikit, karena hanya Jawa ngoko, bukan krama. Tak hanya bisa berbahasa Jawa saja, tapi juga dilengkapi dengan aksen Jawa yang biasa disebut medog. Yaiyalah, bukan orang Jawa kalo ga medog. Aksen itu dah terpatri dalam diriku, sadar ga sadar, walaupun bahasa sehari-hariku di rumah adalah bahasa Indonesia. Unik sekali ya… Pas awal-awal tinggal di Depok, aku mendengar banyak orang yang mengomentari aksenku “Rizka tuh medog ya.” Atau bahkan orang yang belum dikenal, “Mbak dari Jawa ya ?” Menanggapi kembali komentar-komentar tentang aksen medogku, aku justru heran dan agak menyangkal, “Perasaan biasa aja. Aku merasa logatku sama dengan orang-orang lainnya.” Ya, aku merasa logatku & orang-orang di Jogja biasa saja, ga medog-medog banget lah.
Itu terjadi pada awalnya. Lambat laun, semakin lama bergaul dengan orang dari berbagai daerah, aku justru semakin sadar bahwa aku medog. Itu letak keunikannya ^ ^. Aku semakin sadar akan medogku ketika beberapa kali kembali ke Jogja saat libur semester. Serius, aku merasa orang-orang di Jogja itu medog banget ! Bahkan lebih medog daripada aku. Aku sadar bahwa aku medog ketika sudah mengenal aksen lain yang berfungsi sebagai pembanding. Gimana aku akan tau bahwa aku medog ketika aku hanya bergaul dengan orang yang juga medog ?
Cerita itu menginspirasiku bahwa tiap orang akan memerlukan orang lain untuk mengenal dirinya sendiri. Perhatikan pertanyaan terakhir, “Gimana aku akan tau bahwa aku medog ketika aku hanya bergaul dengan orang yang juga medog ?”. Itu mirip dengan “Gimana aku tau bahwa aku punya karakter pemarah kalo aku Cuma menyendiri terus-menerus?”. Aku mengenal kata “marah”, seperti apa wajah orang ketika marah, gimana penilaian orang mengenai karakterku, mengapa aku bisa dianggap pemarah, dan hal-hal lain mengenai diri ga lepas dari peran orang lain. Pertanyaan itu bisa diubah secara umum, "Gimana aku bisa mengenal diri sendiri ketika aku ga bergaul dengan orang lain ?"
Menilai diri sendiri seringkali lebih sulit daripada menilai orang lain. Itu sepengalamanku. Kalo dianalogikan, kita harus melihat kaca supaya tahu seperti apa wajah kita. Tanpa kaca, kita ga akan pernah tau detail wajah-wajah kita. Nah, jadi inget teorinya Cooley tentang “the Looking Glass Self.” Kata Cooley, kita melihat diri sendiri sebagaimana orang lain melihat kita. Anggap aja kaca adalah orang lain.
Dari tadi muter-muter ngomongin “mengenal diri”. Sebenernya, apa gunanya kita mengenal diri sendiri ?
Pertama, tau apa yang terbaik buat diri. Contoh, aku orangnya cenderung visual, jadi aku belajar dengan lebih baik kalau aku buat catatan semenarik mungkin. Contoh lain yang lebih simpel. Aku berdarah rendah, jadi aku menghindari makan timun dalam jumlah banyak. Bayangkan kalau aku ga tau bahwa aku cenderung visual, aku akan belajar dengan sembarang cara, padahal cara itu ga efektif. Kalau ga tau bahwa aku berdarah rendah, bisa-bisa makan timun sembarangan dan darah rendahku kambuh.
Kedua, kalau bisa mengenal diri sendiri lebih dalam, itu bagus lho… Potensi (sesuatu yang tidak tampak) diri akan terdeteksi. Mengenal diri sendiri secara mendalam menurutku bisa dilakukan dengan cara eksplorasi lingkungan sekitar. Ikutlah berbagai macam kegiatan positif. Banyak kan, nyanyi, lukis, nari, ikut BEM, teater, aktivis lingkungan, aktivis dakwah, dll. Kalau kita merasa sreg di suatu atau beberapa bidang, di situlah potensi kita, itulah letak bakat kita.
Ketiga, kalau ada masalah dalam diri kita, kita tau cara menyelesaikan. Orang lain seperti keluarga, guru, teman, atau psikolog hanyalah media untuk mengenal diri sendiri. Aku pernah datang ke psikolog untuk menyelesaikan masalah tentang diri sendiri, yaitu "demam panggung". Awalnya, aku berpikir psikolog tempat aku curhat akan kasih tips gimana supaya demam panggung itu hilang sama sekali. Ternyata, ga sepraktis itu ! Beliau butuh banyak data tentang permasalahanku. Itu ga cukup hanya dengan satu kali konsultasi. Aku ditanyai banyak hal yang berkaitan dengan demam panggungku. Itu membuatku berpikir, mengingat, dan mengungkapkan masa laluku. Psikolog membantuku menyelesaikan masalah dengan cara "memaksaku" untuk mengenal diri sendiri lebih mendetail.Referensi:
http://www.swchistory.ca/HSP3M/HSP3M/unit%20two%20forces%20influence%20behaviour/looking%20glass%20note%20on%20actions%20sociology.doc
0 komentar:
Posting Komentar