Seorang wanita karier yang sukses, sebut saja namanya
Pia. Di saat dia lewat, semua orang melihat. Di saat dia berbicara, semua diam
mendengarkan. Dia sangat terkenal dengan prestasi, karakter baiknya, komitmen dengan
karirnya di dunia parenting psychology.
Dipanggil di mana-mana sebagai pembicara, sudah berpengalaman meneliti di
berbagai daerah, risetnya dipublikasikan hingga mancanegara. Saking banyaknya
prestasi, orang-orang sudah lelah membaca CVnya. Semua orang yang melihatnya
akan memandangnya “keren.” Aku pun juga seperti orang-orang itu: kagum
melihatnya.
Suatu hari, aku sebagai panitia acara “Karir sukses,
rumah tangga sukses” ditugaskan untuk mengundang Bu Pia menjadi pembicara.
Asumsi kami sebagai panitia adalah Bu Pia sudah menjadi orang sukses di
karirnya dan keluarganya pasti bahagia. Ya sudah lah, aku percaya saja dengan
asumsi itu. Pagi ini, aku berniat mengirim sms nomor Bu Pia.
Selamat pagi Bu, saya Rizka, mahasiswi UI sekaligus
panitia acara ‘Karir sukses, rumah tangga sukses.’ Saya mewakili panitia
mengundang ibu sebagai pembicara. Ibu ada waktu untuk saya temui ? Saya ingin
menjelaskan konsep acara lebih lanjut.
Lama... Maklum, beliau sibuk. Aku tentu tak hanya
menunggu hingga membeku. Banyak pekerjaan lain yang masih perlu dikerjakan.
Salah satunya adalah tugas membaca buku psikologi perkembangan. Serius, itu
bidang di psikologi yang paling aku sukai. Hikmah yang aku dapatkan setelah
mempelajari itu adalah: rawatlah anak dengan baik-baik. Mungkin terdengar
sepele ya, tapi tidak bagi orang yang berpikir panjang karena bagaimana
pengalaman anak di masa kecil akan berpengaruh pada kehidupan anak di masa
depannya. Kalau orang tua merawat anak dengan baik, terutama di masa kecilnya,
dia akan menjadi anak yang InsyaAllah baik di masa depannya. Sebaliknya, kalau
anak dirawat dengan tidak baik di masa kecilnya, wajar kalau pas sudah tumbuh
besar dia menjadi anak nakal. Masa kecil adalah masa krusial orang tua atau
pengasuh sangat berperan besar.
Aku kesal dengan para orang tua, terutama ibu, yang
tidak memperhatikan anaknya. Berangkat kantor pagi, pulang malam. Ketika
anaknya minta peluk, ibunya menolak dengan alasan anaknya bau. Ketika ibu baru
menyadari perkembangan anaknya terlambat (padahal ibu itu yang terlambat
menyadari), dibawalah anak itu ke psikolog anak. Psikolog anak bukan dokter
yang memberi obat untuk menyembuhkan keterlambatan suatu aspek pada anak, lalu
ibu memberi obat tersebut, hingga anaknya menjadi seperti anak-anak pada
umumnya. Kalau fenomena itu terjadi, semakin jayalah wanita dengan karirnya dan
semakin sengsaralah para anak karena kurang kasih sayang ibu. Bukan seperti
itu, bukan... Orang tua harus terlibat dalam menangani masalah pada anak.
Psikolog tetaplah psikolog, bukan orang tua sewaan dari orang tua yang
sebenarnya. Tugasnya adalah mencari permasalahan sebenarnya, lalu memberikan treatment
yang tentunya harus dengan keterlibatan orang tua. Parahnya, ada orang tua
yang ogah menjalani treatment untuk menyelesaikan masalah pada anaknya.
Alasan mendasar adalah: tidak punya waktu untuk anaknya.
Memang, aku bukan pengamat langsung dari
peristiwa-peristiwa mengenaskan itu. Tentu saja, aku dapatkan info itu dari
para dosen. Informasi berharga sebagai pengetahuan, namun mengenaskan untuk
dirasakan.
Aku harus lepas dari perjalanan pikiranku. Rasa senang
menggantikan rasa kesal. SMS balasan dari Bu Pia: Pagi Rizka, oke. Saya
kebetulan jam 4 sore tidak ada acara. Kamu datang ke rumah saya ya.
Tanpa basa-basi, aku balas: oke
Alhamdulillah. Kesempatan emas ! Emang rejeki nih.
Sore tidak ada acara di kampus. Soal belajar bisa diundur malem.
***
Tibalah hari
itu, hari wawancara dengan Bu Pia. Aku sangat bersemangat ! Walau rumah beliau
jauh, rasanya hanya sedekat rumah dan halamannya. Perjalanan yang sebenarnya
jauh aku habiskan dengan memikirkan berbagai pertanyaan untuk beliau, tentu
saja pertanyaan seputar psikologi perkembangan dan pengasuhan anak.
Sesampaiku
di rumah beliau, jantung berdebar-debar karena grogi dan takjub melihat
rumahnya yang “wah.” Otomatis, aku membayangkan pasti keluarganya bahagia
dengan keadaan seperti ini. Aku berjalan menuju pintu rumah dan menekan bel.
Bel hanya
mengeluarkan suara “Assalamu’alaikum” sebanyak 2 kali, setelah itu pintu
langsung terbuka. Bukan sosok yang kunanti, seorang gadis remaja seumuranku
yang bertanya, “Mau cari siapa mbak ?”
Kontan
kujawab, “Bu Pia. Beliau ada di rumah ?”
“Ada mbak.
Silakan masuk. Tunggu dulu ya, Mama lagi di kamar. Biar saya panggil.”
Oow. Rupanya
itu anak Bu Pia. Cantik seperti ibunya, tapi aku membaca karakter yang janggal
di dia. Kalau ditanya “apa”, aku ga bisa menjawab. Yah, aku belum tau lebih
jauh soal psikologi abnormal, belum berani mengidentifikasi itu adalah sebuah
abnormalitas.
Selang
beberapa saat sosok yang kutunggu-tunggu datang. Bu Pia yang masih rapi dengan
pakaian kerja menyapaku dengan ramah.
“Halo Rizka”
“Halo Bu.
Perkenalkan, saya Rizka.”
“Ya ya, saya
sudah tau namamu Rizka. Kan disebutin di sms.” Ujar beliau sambil tertawa.
Ternyata,
ibu ini lucu juga. Berawal dari perkenalan itu, kami mengobrol banyak hal tanpa
melupakan tujuan utamaku untuk datang ke rumah beliau, yaitu meminta beliau
menjadi pembicara dan memberikan penjelasan singkat tentang TOR.
Yang paling
kuingat dari obrolan kami adalah obrolan tentang keluarganya. Aku memulai
obrolan itu dengan menanyakan anaknya. Kaget juga, beliau ternyata begitu
terbuka dengan orang yang baru dikenal. Pada awalnya membicarakan anaknya,
berakhir pada pesan beliau untukku. Sungguh, pesan itu akan terekam di otakku
sampai kapanpun.
“Rizka,
kalau besok kamu punya anak, jangan tiru saya ya.. Memang, saya sudah sukses
begini, tapi ada rasa sesal dalam diri saya.”
“Lho, apa
yang perlu disesalkan Bu?”
“Kamu lihat
anak saya kan ? Dia itu ADHD*. Saya telat menyadari kalau dia ADHD, pas dia
sudah lumayan besar. Kasihan liat dia. Telat terdiagnosis, intervensi
terlambat, anak makin sulit mengejar ketinggalan dalam perkembangannya. Itu
gara-gara saya terlalu sibuk dengan pekerjaan.” Ucap beliau dengan raut muka
sedih.
Beliau
melanjutkan, “Makanya, sekarang saya berusaha tetap ketemu anak saya sesibuk
apapun saya dengan pekerjaan. Alhamdulillah, kami sudah deket, beda jauh dengan
dulu. Saya yakin, suatu saat dia akan mengalami kemajuan dalam meraih cita-citanya
walaupun dia anak berkebutuhan khusus.”
“Oh begitu
ya Bu. Aamiin, semoga saja ya, anak ibu bisa sesukses orang tuanya. Hehe”
“Aamiin.
Saya do’akan kamu juga supaya sukses kuliah dan ya... Kalau sudah sukses,
jangan lupakan keluarga, jangan abaikan anakmu. Yakin aja, anakmu bakal lebih
maju kalau kamu bisa deket sama dia.”
“Wah,
makasih banyak Bu. Saya tidak akan melupakan pesan Ibu.”
Aku pun
pamit, pulang dengan pengetahuan baru dan perasaan bahagia. Asumsi awalku
terpatahkan. Ya, wanita yang sukses belum tentu bisa menyukseskan anaknya.
Tergantung bagaimana dia memperlakukan anaknya. Mana ada sih ibu yang pengen
anaknya biasa-biasa aja. Tentu saja para ibu ingin anaknya lebih maju darinya.
Aku akan terus ingat dengan kata-kata ini: “Jangan abaikan anakmu.”
***
2 komentar:
Wah, bener2 pelajaran berharga, Mbak.. Mungkin terkadang orangtua gak sadar yaa, saat mereka sibuk dg karir mereka (apalagi karir yg terus memuncak) sebenarnya anak2 mereka sangat butuh perhatian.
Mamaku dr skrng udh sll ngingetin aku Mbak, katanya kl nanti aku jd wanita karier, gak boleh lupa sama keluarga/anak2ku nanti.
Kasihan jg anak2 yg msh punya orangtua, tp terlantar spt sdh tdk punya orangtua lg.
Wah, bener2 pelajaran berharga, Mbak.. Mungkin terkadang orangtua gak sadar yaa, saat mereka sibuk dg karir mereka (apalagi karir yg terus memuncak) sebenarnya anak2 mereka sangat butuh perhatian.
Mamaku dr skrng udh sll ngingetin aku Mbak, katanya kl nanti aku jd wanita karier, gak boleh lupa sama keluarga/anak2ku nanti.
Kasihan jg anak2 yg msh punya orangtua, tp terlantar spt sdh tdk punya orangtua lg.
Posting Komentar