Teringat pada pernyataan Imam Abu
Hamid Al Ghozali dalam Buku “Keajaiban Hati”. Tubuh manusia ibarat kerajaan.
Hati (qalb) sebagai raja yang memimpin, akal sebagai perdana menteri, syahwat (sepertinya
juga mencakup hawa nafsu) sebagai tentara. Ada pula anggota tubuh, indera,
segala daya yang dipunyai manusia. Tiap-tiap komponen memiliki peran
masing-masing. Jika ada satu saja yang membelot dari perannya, kehancuran pada
kerajaan bisa terjadi.
Ada satu yang berpotensi untuk
membelot dan mengacaukan sistem kerajaan tubuh, yaitu hawa nafsu. Dia haus akan
kekuasaan. Kekuatannya sebagai tentara tidak dianggap remeh. Ketika berkuasa,
semua tentara yang lain dan warga kerajaan dipaksa tunduk padanya. Hawa nafsu
yang memimpin membuat manusia marah karena hal sepele, dendam ketika disakiti
orang lain, atau haus akan jabatan agar dirinya berkuasa atas orang lain. Itu
contoh-contoh perilaku orang yang dalam hatinya ada penyakit. Kacau bukan ? Itu
sebabnya hati lah yang punya otoritas memimpin karena ia tempat cahaya Allah
bersemayam. Hati yang sehat bagaikan representasi Allah dalam kerajaan tubuh
manusia. Beda sekali dengan hawa nafsu yang bisa mengacaukan. Meskipun begitu,
peran hawa nafsu sangat dibutuhkan.
Bisa dibayangkan, bagaimana
jadinya kerajaan tanpa tentara ? Musuh yang datang menyerang akan membuat
kerajaan hancur. Kerajaan tubuh tanpa hawa nafsu membuat manusia hidup tanpa dorongan,
motivasi, tidak punya keinginan apapun, tidak marah ketika kebenaran
dilecehkan, tidak semangat ketika ada kesempatan emas datang. Hidup rasanya
datar-datar saja. Ingat, ini kerajaan tubuh manusia, bukan malaikat !
Hawa nafsu pun bisa menjadi tentara
tangguh yang melindungi dan mendorong kerajaan tubuh agar tetap maju. Ia pun
juga bisa berpotensi untuk mengacaukan kerajaan.
Kapan hawa nafsu bisa jadi
tentara yang baik atau pengacau kerajaan ?
Lihat lagi, dia menjadi tentara
bagi siapa ? Pada hati tempat cahaya Allah masuk, atau pada syaithan yang
jelas-jelas tugasnya mengganggu manusia ?
Tentu saja hawa nafsu harus
tunduk pada hati. Hati sebagai raja dan hawa nafsu sebagai tentara. Dijamin,
kerajaan damai dan aman. Ini terjadi ketika raja sedang kuat. Ketika melihat
hawa nafsu berusaha melakukan kudeta terhadap raja dengan kepentingan buruk,
dia akan dengan tegas berkata, “Hei kamu, Diam ! Aku raja, kamu tentara. Jadi
kamu yang harus patuh padaku. Lakukan tugasmu sebagai tentara.” Hawa nafsu pun akan kembali taat, “Ya Tuan,
maafkan aku. Aku akan kembali bertugas.”
Berbeda halnya ketika raja sedang
melemah dan hawa nafsu berkuasa. Dia membawa kepentingan syaithan yang tidak
sesuai fitrah manusia, jelas-jelas menyimpang dari visi misi awal kerajaan
tubuh, yaitu beribadah pada Allah. Kerajaan akan terus kacau selama raja masih
lemah karena dia belum bisa bertugas. Maksiat akan terus dilakukan. Raja juga
bisa tertidur atau bahkan mati (hati yang dikunci mati karena saking bebalnya,
menolak hidayah Allah). Sayangnya tidak banyak manusia yang menyadari bahwa
raja di dalam dirinya sedang tertidur.
Raja yang tertidur masih bisa
bangun. Seberapa lama ia tidur bergantung pada kualitas manusia itu sendiri.
Ketika raja terbangun, ia akan langsung mengambil alih kerajaan dari hawa nafsu
yang mengacau. Manusia yang bermaksiat pun akan menyesal, beristighfar,
melakukan muhasabah. Inilah manusia yang hatinya memimpin kerajaan tubuh. Dia
berhasil memimpin dirinya !