Berikut sedikit yang bisa saya sampaikan, dari banyak ilmu yang tersalurkan dalam acara Plenary sesion International Conference of Islamic Psychology. Tulisan ini juga bukan 100% murni apa yang disampaikan, ada sedikit tambahan dari saya :)
Pembicara pertama adalah Prof Rahmatullah Khan yang menyampaikan keynote speech. Beliau
menyampaikan konsep raja' & khauf (harap & takut). Dengan raja'
Allah melindungi kita dari apanyang ditakuti, dengan khauf Allah
berikan apa yang diharapkan. Kedua hal tersebut perlu ada dan berfungsi
secara seimbang agar well-being bisa terwujud. Kalau terlalu takut,
akan muncul distres, rasa bersalah berlebihan. Pembahasan kemudian
terfokus pada konsep hope (raja') yang sering dikaitkan dengan positive
psychology, sebuah aliran yang menitikberatkan kekuatan manusia.
Sayangnya, aliran psikologi tersebut telah tersekularisasi hingga kering
dari aspek spiritual dan agama. Padahal, Allah tempat berharap yang
terbaik kan ? Tugas kitalah untuk mengembalikannya dalam memandang hope hingga tercipta spiritual well-being juga.
Berikutnya adalah inti acara yang disampaikan oleh 1. Prof. Robert Frager, Ph.D.; 2. Prof. Dr. Malik Badri; 3. Prof. Mulyadhi Kartanegara.
Pembicara pertama membahas konsep nafs (jiwa) yang sulit
dicari terjemahannya yang tepat dalam bahasa Inggris. Salah satu
terjemahannya adalah "ego". Kita perlu memandang ego dalam perspektif
Islam. Manusia yang baik adalah yang jiwanya mengendalikan raganya,
seperti Budha yang mengendarai gajah sehingga perlu ada transformasi
jiwa. Beliau menjelaskan ciri-ciri dari Nafs ammarah bisu' (paling
rendah) hingga Nafs Safiyya, sebuah kondisi yang paling sulit dicapai. Semakin tinggi kualitas jiwa, semakin dekat kedudukannya dengan Allah, dan tentu saja perilakunya lebih baik.
Beralih ke pembicara kedua menyampaikan bahwa psikologi
tidak bisa lepas dari epistemologi dan etika. Filsafat menjadi dasar,
tiap aliran psikologi memiliki aliran filsafat masing-masing. Sayangnya,
aliran psikologi yang sudah ada bersifat parsial, tdk bisa memfasilitasi
manusia dalam aspek tertentu. Islam memang mengakui aspek jiwa yang
hampir tidak dibahas di kajian psikologi barat, namun tidak menafikkan
aspek-aspek lain dalam manusia. Bisa kita lihat Al Bakhi yang banyak berbicara tentang kognisi, emosi, perilaku:
systematic desentisization, refleksi, perlunya pikiran positif saat
sakit, apa yang bisa dilakukan untuk meregulasi amarah, emotional
disorder. Dari pemaparan beliau, bisa dilihat ternyata ilmuwan muslim terdahulu saja sudah berbicara banyak lebar tentang proses mental, bukan saja tentang jiwa. Pembicara ketiga, sebagai ahli filsafat. Beliau banyak berbicara tentang pemikiran psikologi Barat dan Islam.
Sesi tanya jawab:
Saya ambil poin-poin yang menarik saja ya..
- Bagaimana kita menyikapi ink-blot test sebagai produk psikoanalisis ?
Prof Malik Badri menjawab: Islam mengakui adanya simbol-simbol yang menyiratkan suatu hal, seperti mimpi yang ada interpretasinya, namun tidak sembarangan orang boleh melakukannya. Teringat Ibn Sirin yang menulis buku tentang tafsir mimpi. Apa yang dilakukan Freud terhadap mimpi ? Beliau mengkaitkan mimpi sebagai manifestasi dorongan seksual. Ini yang jangan diterima. Jadi, teliti lagi apa yang disampaikan. Dlm hal ini, kita boleh menggunakan mimpi sbg simbol dari kondisi psikologis seseorang, tapi hati-hati dalam menginterpretasi.
- Beliau berpesan utk berangkat dari Islam, baru melihat psikologi.
Jangan sebaliknya. Seperti membangun fondasi yg kokoh (Islam) hingga
mengecat rumah (psikologi). Jangan anggap Islam seperti cat karena apa
jadinya kalau cat luntur ?
-Prof Mulyadhi menyampaikan lagi, bahwa paradigma Islam itu komprehensif. Psikologi Islam menekankan pentingnya aspek nafs (jiwa), namun juga tidak menafikkan aspek lain, seperti kognisi, emosi, dan perilaku. Berbeda dengan paradigma Barat dengan alirannya masing-masing, hanya menjelaskan salah satu atau beberapa aspek manusia.
Semoga bermanfaat :)