Apa yang kamu lakukan ketika melihat teman yang galau berat karena
ucapan orang lain ? atau terlalu cemas ketika ujian ? Mungkin reaksimu adalah
tertawa atau terbesit dalam pikiran “Cuma karena ucapan orang lain aja,
langsung down gitu. Lemah banget !”
Silakan saja berpikir seperti itu, tapi setelah membaca
ceritaku ini, aku berharap skala empatimu terhadap orang pencemas bisa
bertambah walaupun pertambahan itu hanya 1 angka.
--
Kemarin adalah jadwal aku ujian kasus. Aku sudah mempersiapkannya
dengan usaha yang keras, pontang panting, beberapa hari sebelumnya sudah
kubuatkan ppt. Aku sudah optimis dan tenang di hari itu, bahkan paginya aku
masih bisa jalan sehat 20 menitan. “Aku sudah berusaha keras, aku akan
melakukan yang terbaik, tenang saja..” Aku sudah camkan itu.
Bersyukur pula, bapakku bilang “Jangan jadikan ujian sebagai
beban. Bapak ga kecewa, apapun hasilnya.” Semakin menenangkan aku.. (Makasih ya Bapak.. :)
Overall, kondisiku masih baik-baik saja, bahkan sampai aku
duduk dan mendengarkan temanku presentasi. Aku dapat giliran terakhir.
Perubahan terjadi saat memasuki sesi tanya jawab. Aku
melihat temanku, dia tampak biasa saja. Aku yang tidak biasa. Jantung berdebar
lebih keras, detaknya kurasakan di kepala, hingga aku pusing. Badanku sudah
bergerak-gerak tanpa alasan yang jelas. Oke, ini tanda-tanda kecemasan, tapi
aku tidak tau apa yang aku cemaskan saat itu. Aku semakin paham bagaimana
kondisi pasien yang mengeluhkan sakit fisik tapi ketika ditanya sedang
memikirkan apa jawabannya adalah “Tidak tahu”. Balik lagi ke diriku.. Aku sudah
berusaha lakukan relaksasi nafas, but it doesn’t work, bahkan ketika temanku di
seberang melihat perilakuku dan memintaku untuk tenang (thanks to mbak Dev).
Gejala kecemasanku sudah semakin reda di waktu istirahat dan
aku bisa shalat. Mendekati giliranku, aku masih mantap untuk persiapkan
perangkat presentasi. Laptop, file, pointer, dan yakin.. Baiklah, aku mulai
presentasi. Aku tau, aku grogi tapi untungnya aku tidak sampai speechless, Alhamdulillah. Yup.. bisa
ngomong di depan orang untuk mempresentasikan hasil karya adalah sebuah
perjuangan keras sejauh ini dan aku sudah berprogres dalam hal ini. Lagi-lagi,
alhamdulillah. Bodo amat bagaimana reaksi audiens.
Grogi semakin tinggi saat sesi tanya jawab. Aku bisa
menjawab semua pertanyaan dosen dan psikolog. Aku masih bisa mengklarifikasi
persepsi mereka yang tidak sesuai dengan maksudku. Aku juga masih bisa menerima
saran mereka dengan terbuka. Poin-poin perkataan mereka aku catat. Yang aku
ingat adalah, mereka semua bilang apa kekuranganku. Penyampaian mereka juga
bagus, intonasi yang halus, bahkan diselingi tawa juga. Namanya juga evaluasi
ya, semua ditujukan agar karyaku lebih baik. Hanya saja, aku merasa tidak
nyaman. Kepalaku pusing. Clear, aku masih cemas walaupun aku tidak tahu apa
yang sebenarnya membuatku cemas.
Pernyataan penutup dari dosen sedikit menghibur, “Kalian
pasti usaha pontang panting kan. Kita semua masih belajar. Saya aja juga masih
belajar dari presentasi kalian”. Kurang lebih begitu lah. Aku semakin tahu
bahwa evaluasi memang tujuannya baik, tapi entah kenapa aku masih merasa tidak
nyaman.
Alhamdulillah, pusing reda setelah ujian selesai. Jantung
juga sudah normal lagi. Kondisi emosiku saja yang masih jelek. Aku tidak puas
dengan presentasiku barusan. Yang jelas, untuk sementara ini aku tidak akan
menyentuh HPP karena aku sadar pikiranku masih lelah. Mau melakukan apa jadi
malas. Aku jadi lebih pasif.
Waktunya untuk merenung... Beginilah kurang lebih dialog
internal. Aku berusaha melakukan terapi pada diriku sendiri, mungkin
humanistik, supaya aku sendiri tahu apa sih yang aku rasakan dan pikirkan
hingga aku merasa tidak nyaman.
-: “Aku takut dievaluasi. Seakan-akan evaluasi itu
intimidasi. Makanya aku sudah mulai cemas duluan ketika temanku ditanya-tanya.”
+: “Hei,, tenanglah. Evaluasi itu ada supaya kamu semakin
baik. Tanda mereka sayang.. Mereka tidak ada maksud untuk menjatuhkanmu”
-: “Tapi mereka bilang apa saja kurangku. Tidak ada komentar
positif. Aku ga tau apa yang sudah bagus dari diriku dan yang perlu
dipertahankan. Seakan-akan usahaku selama ini sia-sia, padahal usahaku tidak
main-main. Sedih rasanya. Ini yang membuatku malas.”
+: “Kamu berhak me-reward diri sendiri. You’re doin great.”
-: “Ga percaya. Sama saja rasanya masih down begini.”
+: “Ya sudah, memang butuh proses dan waktu untuk bangkit
lagi. Coba minta feedback dari teman-teman.”
Aku pun japri dan meminta feedback mereka. Mereka semua
memberikan feedback positif. Aku juga membaca tips-tips mengatasi
perfeksionisme: fokus pada usaha, bukan output; pikirkan lagi apakah keadaan
jadi lebih baik kalau performaku memang jauh lebih baik (tidak juga, pasti
kritik selalu ada); hargai diri sendiri meskipun not doing well.. (Link artikel: https://www.psychologytoday.com/blog/the-mindful-self-express/201512/the-3-most-common-causes-insecurity-and-how-beat-them?utm_source=FacebookPost&utm_medium=FBPost&utm_campaign=FBPost)
Sayangnya, tetap saja aku masih down. Malas saja rasanya. Bahkan
evidence dari teman dan artikelpun belum cukup. Pendekatan kognitif belum cukup
ampuh saat ini.
Benar kan, pertolongan Allah diperlukan agar aku bangkit
lagi. Aku evaluasi diriku lagi: Hatiku belum lapang. Astaghfirullah.. Maafkan
aku ya Allah, aku masih bergantung sama perkataan orang agar aku tetap teguh.
Tolong aku, perbaiki diriku.
Aku hanya bisa berpesan pada diriku,“benar kalau kamu cemas
saat ujian itu, tapi apa yang kamu cemaskan itu tidak benar. Kalau ada yang
bilang usahamu belum cukup. Itu BOHONG. Usahamu sudah begitu keras. Maafkan
orang-orang lain ya, mereka mungkin terlalu lelah hingga fokus pada apa-apa
yang kurang, sementara yang positif diabaikan. Setidaknya, berusahalah untuk
menghargai jasadmu sendiri yang sudah pontang panting bekerja. You deserve to
reward yourself.”
Oke, aku berjuang untuk bangkit kembali, jelas bukan proses
yang instan. Hal yang perlu aku syukuri adalah aku bisa menyadari pikiran dan
perasaanku sehingga aku bisa berusaha memodifikasinya hingga kondisiku bisa
lebih baik lagi.
--
Sudah, cukup dengan cerita tentang ujian. Aku tidak menyesal
dengan pengalaman cemasku yang berdampak signifikan pada kondisi fisikku. Pasti
ada pelajarannya kan. Aku beharap semakin bisa berempati pada orang-orang pencemas,
meskipun orang lain menyepelekan kecemasan mereka.
Pelajaran lain adalah aku perlu berusaha menghargai usaha dan
progres orang lain sekecil apapun itu. Gawat kalau sering menyepelekan hal
positif orang lain. Tanda tidak bersyukur. Bisa bisa berpotensi menimbulkan
kerusakan pada orang yang kusepelekan: menurunkan self-esteem, menciutkan
nyali, menurunkan semangat, putus asa, menuntut diri sendiri karena takut gagal,
atau berperilaku menyimpang.
Boleh sih menuntut orang lain, tapi seimbangkan dengan
apresiasi yaa :)
*Kutulis note ini tanpa berpikir panjang. Wajar ya kalau
agak random. hehe
1 komentar:
rizkaaa, masih aktif ngeblog juga ternyata. semangaaat yaa
Posting Komentar