Siang itu di sebuah Sekolah Menengah
Atas di Kota Preintellectia, sebuah Kota yang namanya belum pernah terdengar
oleh penduduk dunia ini.
Bu
Nara sebagai guru mata pelajaran Sastra, memberikan tugas untuk para murid.
“Anak-anak,
untuk tugas minggu depan, buat ringkasan tentang salah satu buku kesukaan
kalian. Buku apapun itu, ringkasan maksimal 10 halaman... Beberapa dari kalian
akan saya minta menyampaikan tugas secara lisan di kelas. Terlambat
mengumpulkan, nilai kosong.”
Suasana
kelas sedikit ricuh. Para murid bertanya-tanya, memikirkan buku yang akan
dijadikan bahan tugas.
Tidak
lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi tepat pukul 14.00.
“Ada
pertanyaan ?”
Suasana
kelas kembali sunyi.
“Jika
tidak, kita akhiri kelas ini dengan membaca do’a.”
Setelah
tiap orang membaca do’a dalam hati, kelas dibubarkan. Hampir semua anak
berisik, bertanya-tanya tentang tugas
yang barusan diberikan Bu Nara.
“Kamu
mau pakai buku apa ?”
“Bingung.”
“Aku
mau pakai novel yang baru-baru aja deh…”
Banyak
sekali percakapan tentang buku dan hampir semua anak di kelas itu berbicara hingga membuat suasana kelas gaduh. Sementara
salah seorang murid, bernama Areef terdiam untuk berpikir. Di dalam pikirannya,
dia sudah tahu apa yang akan ditulis. Tentu saja, tidak jauh dari apa yang
dipelajarinya selama ini.
***
Areef masih tersenyum-senyum di
perjalanan menuju rumah. Melihat indahnya awan putih yang terbentang jauh di
atas kepalanya, ditemani matahari yang sinarnya menyilaukan. Pohon-pohon berdaun lebat menyejukkan
pandangan tumbuh di hutan kota. Bukan saja makhluk hidup yang dilihatnya.
Besi-besi pagar pun yang kokoh juga dilihatnya sepintas. Dilihatnya juga pemurahnya
orang yang memberikan sedekah pada yang membutuhkan. Semuanya terlihat begitu
indah di matanya. Dia berpikir dalam diamnya mulut dan terbukanya mata.
Tiba-tiba…
“Reef,
Kenapa senyum-senyum sendiri ?” Rio, seorang teman sekelas menegurnya.
“Mikirin
buat tugas Sastra.”
“Emang,
mau ringkas buku apa ?”
“Ya
nanti pas dah kumpulin tugasnya, kamu bakal tau.”
“Payah...
Sama temen sendiri aja ga mau cerita.”
“Bukannya
ga mau, tapi aku belum siap aja. Kamu bakal bingung kalo aku cerita pas lagi ga
siap gini.”
“Oke
lah. Kayaknya bukumu berat. Ya udah. Aku jalan duluan.”
“Ati-ati
di jalan Rio.”
***
Sesampainya di rumah, Areef
berwudhu, menenangkan jiwanya, lalu mencicil tugas Sastra. Berwudhu sebelum
belajar memang sudah menjadi kebiasaannya, karena itu bisa membersihkan dan
menyiapkan jiwanya. Ini yang membuat
pikirannya segar dalam belajar. Tidak mengherankan, karena jiwa yang bersih dan
siap akan membuat pikiran berfungsi dengan baik ketika belajar. Dia meyakini
adanya hubungan yang harmonis antara jiwa dan pikiran.
Penulisan
pun dimulai… Dia tidak banyak bicara. Hanya jiwa, pikiran, dan tangan yang
terlihat aktif.
“Sepertinya
judul Buku terBesar bagus nih. Bismillah…”
Dimulai
dengan membuat kerangka tulisan, kemudian menuliskan nilai-nilai yang ingin
ditanamkan. Tak lupa juga membuka buku-buku referensi karena merasa ilmu yang
dimiliki perlu dipastikan memang benar dan sesuai dengan sumber aslinya. Salah
satunya adalah Al-qur’an.
Batinnya
mengatakan, “Terserah reaksi orang-orang nanti seperti apa. Yang penting aku
sampaikan apa yang ada di pikiran. Ini kebenaran.”
Kreativitas
dalam berpikir pun turut menghiasi tulisan dalam ringkasannya. Buku yang ia
ringkas bukanlah buku biasa. Ini buku raksasa. Terlihat sangat jelas, menjadi
petunjuk bagi seluruh makhluk, sehingga orang yang melihatnya pun akan teringat
pada Siapa Yang Menulis buku ini.
Setelah
dirasa cukup, dia mengerjakan tugas-tugas lainnya.
***
H – 1 pengumpulan tugas meringkas
buku
“Eh
Ri, gimana tugas dari Bu Nara ? Besok kan deadline ?”
“Udah
selesai. Yippi… Aku pakai novel ‘Romantika Pemuda Pemudi’ ”
“Eh
itu buku baru bukan sih ? Keren banget. Aku bahkan belum mulai ngerjain.”
“Males
banget perasaan. Parah !”
“Ya..
Santei lah. Aku kan cepet ngerjainnya. Hahaha”
Dialog
kedua teman itu terdengar oleh Areef. Mengabaikan itu, dia menyelesaikan tugas sastra
tentang Buku terBesar. Hanya melakukan sedikit editing, tugas itu sebentar lagi akan selesai.
***
Hari H pengumpulan tugas meringkas
buku.
Hari
itu memang sudah dialokasikan untuk penyampaian ringkasan buku oleh beberapa
anak yang ditunjuk Bu Nara. Semua murid sudah mengumpulkan tugasnya, sebagian
besar melakukan itu karena takut nilai untuk tugas ini kosong, seperti yang
diancamkan Bu Nara minggu lalu.
Bu
Nara memanggil beberapa murid saja. Tiap anak diberi waktu 10 menit untuk
berbicara di depan…
Di
10 menit terakhir sebelum jam pulang sekolah, nama Areef disebut. Tanpa perlu persiapan
panjang, dia langsung maju.
“Buku
yang saya ringkas berjudul ‘Buku TerBesar’.”
Terdengar
desas-desus murid-murid lain yang mempertanyakan buku itu.
“Pasti
baru dengar kan ? Bagaimana ini kalian ? Buku ini sudah ada dari dulu. Jaman
dinosaurus hidup aja sudah ada.”
Bu
Nara langsung menanggapi,” Areef, bisa kah langsung saja sampaikan apa saja yang penting tentang
bukumu ?”
“Baik
Bu… Buku terBesar ini adalah alam semesta. Sengaja saya menceritakan buku ini,
mengingat tidak ada batasan yang jelas dari Bu Nara tentang ‘buku’ itu
sendiri.”
Bu
Nara menanggapi dengan anggukan mantap, “Oke Areef, lanjutkan !”
“Saya
ceritakan Penulis buku ini. Dialah Allah, Tuhan Semesta alam. Dia
memperkenalkan dirinya melalui penciptaan alam raya ini. Dia yang Maha Pemberi
rizki, menciptakan hujan yang memberi banyak manfaat pada penduduk bumi. Itu
artinya hujan mencerminkan sifat-Nya yang Maha Pemberi rizki. Dia yang Maha Kuat,
menciptakan besi yang kokoh. Besi mencerminkan sifat-Nya yang Maha Kuat. Dia
yang Maha Penghitung, membuat semua hal punya kadar masing-masing yang
proporsional. Tiap makhluk dengan kadar yang proporsional memperlihatkan sifat
yang Maha Penghitung.”
Areef
yang peka dengan keadaan teman-teman sekelasnya punya inisiatif tersendiri, “Bu,
saya boleh menampilkan gambar-gambar juga lewat Power Point ? Sepertinya
teman-teman sudah mulai kehilangan konsentrasi.
“Ya,
silakan Areef, tapi ingat waktu ya, sebentar lagi jam pulang sekolah.”
“Baik
Bu” Sambil dia menyiapkan tampilan power point yang kemarin sudah dibuatnya
setelah tugas meringkas buku selesai.
Semua
mata di kelas tertuju pada slide power point.
“Jadi,
semua yang ada di alam raya ini adalah tanda-tanda keberadaan-Nya, kalau kita mau
buka hati untuk melihat. Semua sifat-sifat-Nya, sengaja dibuat dekat dengan
para makhluk oleh-Nya. Kenapa demikian ? Ini karena Dia ingin dikenal oleh
makhluk-makhluk-Nya.”
Sambil
menjelaskan, sambil memindahkan slide berikutnya yang menampilkan beberapa
keindahan alam semesta. Mulai dari hal yang sangat besar seperti
galaksi-galaksi. Sampai yang terkecil: mikrokosmos dan kompleksitas tubuh
manusia.
“Sekarang
saya tanya. Apa pendapat kalian setelah lihat gambar-gambar barusan ?
Semua
mata yang sebelumnya melihat ke arah slide, kemudian sebagian besar mulut
mengeluarkan respon positif: “Keren banget”, “Bagus banget”, “Enak buat cuci
mata”, dan semacamnya.
“Hampir
semua dari kalian kagum kan ? Tapi, menurut saya adalah yang konyol jika kita
terkagum-kagum pada buku, tapi lupa pada penulis buku. Sama halnya ketika
sangat kagum pada indahnya alam semesta tapi lupa pada Siapa Penciptanya.”
Semua
terdiam mendengar kata-kata yang menampar, namun membuat pikiran tersadarkan kembali
dari kesenangan visual semata.
Areef
langsung melanjutkan lagi, “Ada satu lagi yang terlupa, yaitu manusia. Kita
sendiri adalah buku kecil dan bagian
dari Buku Besar alam semesta. Lihat betapa rumitnya diri kita ini.” Sambil
memperlihatkan slide yang menampilkan rumit dan indahnya anatomi tubuh manusia,
dari individu sampai tingkat sel.
“Bahkan
seorang dokter yang paling ahli pun tidak ada yang tahu secara pasti seluruh aktivitas
tubuh manusia pada tingkat sel. Ini semua menunjukkan Maha Besarnya Dia. ”
Bel
pulang sekolah berbunyi. Areef berhenti, lalu berbicara bermaksud untuk
mengakhiri penyampaiannya. “Sebenarnya saya belum selesai, tapi karena sudah
waktunya pulang,…”
“Lanjutkan
saja Areef.” Bu Nara memotong perkataan Areef dengan suara yang pelan. Tanpa
sepengetahuan orang-orang di dalam kelas, matanya mulai berkaca-kaca.
Dua
orang murid yang duduk bersebelahan mengeluh, “Aku dah laper banget nih”.
“Parahnya kelas kita belum selesai.” Namun, situasi menghiraukan mereka. Tetap
berjalanlah aktivitas di kelas itu,
Areef
melanjutkan, “Baik Bu, Jangan khawatir, sedikit lagi selesai. Uniknya lagi, manusia
adalah citra Allah di muka bumi, manusia punya potensi untuk memiliki banyak
sifat Allah. Kita bisa jadi seorang penyayang, penghitung, pemurah, penyantun, pemaaf,
membuat keindahan, punya kehendak, tahu banyak hal duniawi dan hal ghoib. Masih
banyak sifat manusia yang tidak bisa disebutkan satu per satu, apalagi tiap
manusia punya keunikan sendiri. Sadar kah ? Itu semua sifat-sifat Allah.”
Areef
sengaja mengambil jeda selama beberapa detik untuk melihat reaksi sekelas. Ada
beberapa yang masih fokus melihat slide, ada yang merenung, ada yang menatap
kosong karena lapar, ada yang mengangguk-angguk pelan. Satu hal yang tidak
dilihat anak-anak sekelas, Bu Nara yang sudah menangis tanpa suara.
“Kondisi
Buku Besar kitta sekarang sudah memprihatinkan. Semua itu karena manusia. Payah
kan ? Manusia sebagai makhluk yang sempurna justru berbuat kerusakan.” Sambil
menampilkan slide bencana dan kekacauan: banjir, longsor, penggundulan hutan,
memakai bahan peledak, membuat obat yang sebenarnya racun bagi tubuh, pengeboman
kota, dan perang.
“Ini
kenyataan yang harus kita hadapi bersama-sama. Orang-orang sudah lupa dengan
Penulis Buku Besar ini, dan banyak yang hanya terpesona dengan Buku ini tanpa
berpikir tentang Penulisnya, yaitu Tuhan semesta alam. Sebenarnya ringkasan
saya tidak cukup untuk merangkum semua isi dari Buku ini. Masih banyak yang
belum saya tahu, tapi saya cukupkan penyampaian ringkasan tentang Buku terBesar
ini. Sekian dan terima kasih atas perhatian kalian semua.”
***
Bu
Nara terlihat menangis dan para murid baru menyadarinya. “Ini ringkasan yang ….”
Sambil mengelap air mata yang mengalir di pipirnya, “Saya bingung harus bilang
apa.”
Semua
murid terdiam melihat Bu Nara…
“Memang
kau bijak sekali nak. Tak rugi orang tuamu menamaimu Areef.”
“Terima
kasih Bu.”
Bu
Nara menutup kelas menandakan berakhirnya aktivitas belajar di kelas itu.
***
Siang itu, siang yang indah.
Matahari menampilkan terik sinarnya. Besi pagar sekolah yang tetap kokoh dia
lewati. Batu-batu tertata di pinggiran jalan kota yang sesaat dilihatnya. Pohon
bambu di halaman luar sekolah berdiri tegak dengan tetap mempertahankan warna
hijaunya. Semua terlihat diam, namun semua benda hidup dan mati mendo’akan
Areef. Tanpa sepenglihatannya, namun dia yakin akan hal itu. Areef akan pergi
ke kursus untuk mempelajari lebih jauh tentang Buku Besar ini dan Sang Penulis
yang Maha Agung. Pantas saja seluruh makhluk mendo’akannya.
0 komentar:
Posting Komentar