Saat makna sudah samapai jiwa, tak ada cerita seperti ini:
Rajin sholat, tetap bermaksiat.
Sudah tau harus berbuat baik, masih saja menyakiti orang.
Mengaku paham tentang Islam, tapi tetap teguh dengan
pemikiran sekuler.
Sudah tau akhirat itu ada, tapi orientasi tetap ke dunia.
Banyak pengetahuan, tapi sedikit pengamalan.
Sudah tau manusia punya perasaan, tapi perkataan kasar.
Sudah tau diri butuh sehat, tapi sengaja membuat tubuh
sakit.
Sudah tau manusia punya hati nurani, tetap saja terus
mengingkari.
Timpang bukan ? Sayangnya itu tetap saja ada dan nyata. Ada
apa dengan jiwa para manusia ini yang tak sanggup menerima makna ?
Ketahuilah, ilmu bukan sekedar masuknya informasi ke dalam
kognisi, sebanyak apapun informasi itu. Lebih jauh dari itu: masuknya makna
hingga jiwa. Informasi yang banyak tetap saja kosong ketika tidak membuat
maknanya sampai pada jiwa. Itu makna semu. Kesemuan yang menjadi bibit
ketimpangan.
Ketahuilah, ilmu itu cahaya Allah. Nuurun ‘alannuur.
Ilmu itu membawa pada keyakinan, bukan keraguan.
Ilmu itu ketika sampainya makna pada jiwa.
Ketika makna sudah sampai jiwa, hati menerima cahaya-Nya,
segenap jiwa raga akan tunduk pada hati. Jika demikian, tak mungkin ada
cerita-cerita penuh ketimpangan tadi.
Jadi, apa yang salah dengan diri yang terus berada dalam
ketimpangan ?
Betah untuk berada di sana selamanya ?
0 komentar:
Posting Komentar