Rabu, 02 April 2014

Sampainya makna pada jiwa (1)


Saat makna sudah samapai jiwa, tak ada cerita seperti ini:

Rajin sholat, tetap bermaksiat.
Sudah tau harus berbuat baik, masih saja menyakiti orang.
Mengaku paham tentang Islam, tapi tetap teguh dengan pemikiran sekuler.
Sudah tau akhirat itu ada, tapi orientasi tetap ke dunia.
Banyak pengetahuan, tapi sedikit pengamalan.
Sudah tau manusia punya perasaan, tapi perkataan kasar.
Sudah tau diri butuh sehat, tapi sengaja membuat tubuh sakit.
Sudah tau manusia punya hati nurani, tetap saja terus mengingkari.

Timpang bukan ? Sayangnya itu tetap saja ada dan nyata. Ada apa dengan jiwa para manusia ini yang tak sanggup menerima makna ?
Ketahuilah, ilmu bukan sekedar masuknya informasi ke dalam kognisi, sebanyak apapun informasi itu. Lebih jauh dari itu: masuknya makna hingga jiwa. Informasi yang banyak tetap saja kosong ketika tidak membuat maknanya sampai pada jiwa. Itu makna semu. Kesemuan yang menjadi bibit ketimpangan.
Ketahuilah, ilmu itu cahaya Allah. Nuurun ‘alannuur.
Ilmu itu membawa pada keyakinan, bukan keraguan.
Ilmu itu ketika sampainya makna pada jiwa.

Ketika makna sudah sampai jiwa, hati menerima cahaya-Nya, segenap jiwa raga akan tunduk pada hati. Jika demikian, tak mungkin ada cerita-cerita penuh ketimpangan tadi.

Jadi, apa yang salah dengan diri yang terus berada dalam ketimpangan ?

Betah untuk berada di sana selamanya ?

0 komentar: